Indonesia merupakan negara agraris yang terdiri dari kekayaan alamnya yang melimpah. Kekayaan alam yang berlimpah ini secara hukum telah dilindungi dan diatur tentang keberadaannya salah satunya tertera pada bunyi Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimana Bumi,dan Air, serta Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Salah satunya ialah tanah yang memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena dapat dipergunakan sebagai tempat tinggal, tempat melakukan kegiatan usaha, dan berbagai aktivitas lainnya, selain itu  tanah juga dapat dijadikan sebagai alat investasi yang dapat menunjang pelaksanaan pembangunan nasional yang diselenggarakan sebagai bentuk upaya berkelanjutan dalam mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Tahun 1945. Selain itu, hal tersebut juga tercantum dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria (UUPA) yang menyebutkan bahwa bumi merupakan tanah dan segala hal yang ada pada permukaannya maupun di dalamnya adalah untuk menunjang kepastian hak atas tanah yang selaras dengan subjek, objek, dan pelaksanaan kewenangan haknya.
Tanah dalam kehidupan manusia mengandung makna yang multidimensional. Mengapa dinyatakan demikian ? karena ketersediaannya yang statis kerap kali mengakibatkan terjadinya kontestasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, serta pemanfaatan tanah dimana para pemilik modal yang akan keluar sebagai pemenangnya. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan timbulnya ketimpangan struktur penguasaan akses atas tanah, dan tak jarang menimbulkan konflik agraria. Maka dari itu reforma agraria menjadi salah satu agenda penting dalam upaya pembangunan dan ekonomi di Indonesia. Reforma Agraria tidak hanya sebagai program redistribusi lahan saja, tetapi juga sebagai instrument strategis dalam mewujudkan keadilan sosial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Pelaksanaan reforma agraria masihlah menjadi kontradiksi karena pada faktanya masih terjadi penyelewengan dan pengabaian dari hak-hak masyarakat adat yang turut mendiami wilayah yang ada di Indonesia. Dinamika dari reforma agraria menjadi topik kompleks yang penuh liku yang harus segera ditangani, karena hal ini berkaitan dengan deforestasi, konflik lahan, dan paradigma masyarakat adat.
Sebagai upaya untuk mewujudkan amanat undang-undang, maka pemerintah menghadirkan instrument pendukung untuk percepatan reforma agraria dengan keberadaan Bank Tanah. Bank Tanah sebagai perwujudan transformasi reforma agraria merupakan sebuah lembaga yang melakukan fungsi penataan terhadap tanah dengan cakupan luas seperti perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan distribusi tanah sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang Cipta Kerja dan diatur lebih lanjut pada Perppu. Bank Tanah menurut pemerintah akan menjadi lembaga yang dapat memberikan dukungan mengenai tugas pembangunan untuk kebutuhan publik dan kesejahteraan masyarakat dengan cara mempersiapkan tanah yang dimiliki jauh hari sebelum dibutuhkan secara mendesak. Pemerintah berharap dengan hadirnya bank tanah ini mampu membantu memulihkan dengan cara mengelola aset yang dimiliki oleh bank tanah. Aset tanah yang dikuasai oleh bank tanah nantinya dapat dikelola secara penuh untuk melahirkan ekonomi yang berkeadilan serta mampu memulihkan perekonomian Indonesia. Meski demikian mekanisme keuangan pada bank tanah terpisah dari negara hal ini untuk membuat independesi bank tanah dalam melakukan kinerjanya secara proporsional namun dalam situasi tertentu masih ada sistem pelaporan yang wajib dituntaskan terlebih dahulu dimana hal tersebut melibatkan peran pemerintah didalamnya.
Bank Tanah sebagai instrument strategis pengelolaan pertanahan nasional, khususnya akan penguasaan dan penatagunaan tanah kerap kali masih menimbulkan konflik pada praktiknya. Mengapa hal demikian bisa terjadi?
Konsep bank tanah yang menggunakan hak penguasaan bumi, air, dan ruang angkasa termasuk alam yang terkandung didalmnya masih dapat direpresantisakan negatif karena memuat asas domein verklaring. Asas domein verklaring mengartikan bahwa tanah yang tidak ada bukti penguasaan yang sah atasnya maka tidak ada kepemilikan hak terhadapnya, sehingga dengan sendirinya tanah tersebut dikatakan sebagai tanah negara. Asas ini memiliki makna yang kondtradiktif karena seakan-akan negara dan pemerintah mempunyai kepemilikan absolut atas tanah tersebut. Padahal bila kita menilik tentang kepemilikan tanah di Indonesia, beberapa wilayah seperti daerah pedalaman yang masih terhadap suku-suku asli yang menghuni tanah tersebut dihadapkan dengan ancaman kehilangan tanah yang dihuninya.
Tanah adat kerap kali menjadi konflik utama pada reforma agraria di Indonesia, mengingat keberadaan tanah tersebut biasa ditinggali oleh masyarakat adat sebagai ruang hidup Bersama, ditambah lagi tanah tersebut tidak terdata secara administratif dan tak jarang masih belum diakui oleh pemerintah sehingga menjadikan status tanah tersebut bukan milik masyarakat adat namun tanah yang dikuasai oleh negara. Tidak sekedar dikuasai, bank tanah dapat menyelenggarakan kerja sama pengelolaan tanah tersebut kepada pihak ketiga untuk aktifitas komersial hingga menelantarkan hak masyarakat adat untuk mendiami tanah tersebut. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan prinsip reforma agraria yakni mensejahterakan rakyat kecil yang harus diperjuangkan hak-hak atas tanah yang disinggahinya melalui sertifikasi tanah secara legal oleh pemerintah, serta program pemerataan distribusi tanah secara adil dan merata.
Namun, meski tak jarang terjadi permasalahan atau konflik seperti itu bukan berarti keberadaan dari bank tanah tersebut menjadi hal yang tak diperlukan. Karena pada faktanya keberadaan dari bank tanah turut memberikan kontribusi dan nilai positif terhadap transformasi reforma agraria di Indonesia. Dengan demikian, agar tercipta ketepatan sasaran pembangunan infrastruktur maka perlu adanya kontribusi dari setiap perwakilan baik dari bank tanah, korporasi, pemerintah, tidak lupa melibatkan peran aktif masyarakat dalam pengadaannya bila akan memanfaatkan tanah untuk keperluan komersil. Hendaknya bank tanah untuk membuat skala prioritas dalam menjalankan tugasnya dengan mengutamakan kepentingan rakyat. Reforma agraria dapat terwujud melalui sinergi setiap lapisan didalamnya baik badan/lembaga, korporasi, dan masyarakat. Apabila semua unsur, dan visi, serta misi bank tanah dijalankan dengan baik maka fungsi bank tanah dalam pelaksanaan kegiatan seperti pengadaan tanah dapat berlangsung secara efisien dengan bertumpu pada kepastian hukum dan asas keadilan. Â Dengan demikian akan tercipta ketepatan sasaran Pembangunan hingga terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran negara.
http://www.ejournal.um-sorong.ac.id/index.php/js/article/view/2345
https://www.jurnal.stie-aas.ac.id/index.php/jei/article/view/3599
https://journal.pubmedia.id/index.php/jcl/article/view/3376