Mohon tunggu...
Yuniandono Achmad
Yuniandono Achmad Mohon Tunggu... Dosen - Dreams dan Dare (to) Die

Cita-cita dan harapan, itu yang membuat hidup sampai saat ini

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Fenomena Simon Santoso: Penerapan Teori XY?

17 April 2014   15:18 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:34 2203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Simon Santoso /kompasiana (Ira Ratnati/Yonex-Sunrise Indonesia GP Gold)

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Simon Santoso /kompasiana (Ira Ratnati/Yonex-Sunrise Indonesia GP Gold)"][/caption]

Setelah menjadi kampiun di Indonesia Grand Prix Gold (September 2013), lalu Malaysia Grand Prix Gold (Maret 2014), Simon Santoso menjadi juara di Singapore Super Series. Hanya selang sebulan, mantan pemain Pelatnas ini meraih prestasi yang sangat gilang gemilang. Dikatakan “gilang” karena Simon menitinya dari babak kualifikasi -artinya dia bermain 2 (dua) kali lebih banyak ketimbang pemain yang unggulan. Dikatakan “gemilang” karena peringkatnya yang 50-an bisa mengalahkan peringkat 1 (datok Lee Chong Wei/ LCW). Apalagi LCW inilah yang mengkandaskannya di ajang Olimpiade London 2012 dengan angka kecil (di bawah 10) dan totalnya hanya 34 menit.

Kegemilangan lain adalah, Simon mampu mendapatkan dua gelar juara dalam waktu “kritis” di 2 (dua) bulan terakhir. Dikatakan kritis karena saat dua bulan itu dirinya telah “dipecat” dari Pelatnas alias bukan pemain nasional lagi. Pernah saya baca komentar coach Rexy Mainaki (Kabid Pembinaan PBSI) bahwa pelatnas akan dibuat lebih ramping –biar tidak ada pemain yang menikmati fasilitas PBSI hanyauntuk cedera. Dan benar, ketika di awal tahun Simon diberi target untuk masuk dua buah turnamen super series (salahsatunya Korea Open) tapi gagal, Simon dikeluarkan dari pelatnas.

Salahkah pelatnas mengeluarkan Simon? Ini yang perlu menjadi perhatian. Di ilmu manajemen dikenal salah satu teori motivasi adalah “Teori XY” dari Douglas Mcgregor. Teori X dan Y membedakan dua tipe manusia (pekerja) menjadi tipe X yang buruk dan tipe Y yang baik. Tipe Y perlu dimotivasi dengan insentif dan promosi, kurang lebih begitu. Sedangkan tipe X dengan punishment atau hukuman. Sepertinya Simon ini masuk tipe X sehingga “punishment” berupa dikeluarkan dari pelatnas merupakan solusi. Simon kembali ke klub Tangkas, hilang fasilitas-fasilitas, tapi dari situ dia sepertinya mendapat pembelajaran. Kemandirian telah membuat Simon bangkit, sampai datok LCW di sesi wawancara mengatakan kaget dengan perubahan permainan Simon ini.

Rexy Mainaki dalam sebuah kesempatan pernah mengatakan di media bahwa Hayom Rumbaka perlu menyontoh Alan Budi Kusuma. Menurut saya, tidak hanya Hayom, tapi Simon juga perlu. Atau mungkin setelah juara di dua turnamen ini Simon telah mempraktikkan tauladan Alan. Alan Budi Kusuma, sang peraih medali emas Olimpiade tahun 1992 (Barcelona) ini pernah dicibir masyarakat Indonesia karena kalah di single kedua Thomas Cup 1992 partai final melawan Malaysia. Padahal lawannya (Foo Kok Keong) jauh di bawah Alan peringkatnya.Sesudah itu di bawah pelatihan Rudi Hartono dan Indra Gunawan, si Alan dipush agar berlatih mulai paling awal dan selesai paling akhir dari kawan-kawannya. Metode kepelatihan yang menyiksa tersebut membuahkan hasil di gelanggang Olimpiade beberapa bulan berikutnya. Artinya Alan merupakan tipe X yang musti diberi hukuman agar berlatih lebih keras.

Contoh lain misalnya Ronny Agustinus, pemain era antara Heryanto Arbi (akhir) sampai Taufik Hidayat (awal). Kelihatannya PBSI salah memilih kriteria pemain saat itu. Ronny Agustinus “dikira” tipe Y sehingga dilatih khusus oleh Rudy Hartono, namun ternyata sampai periode Pelatnas berakhir tidak menjadi pemain utama. Keterangan: salah satu prestasi Rony Agustinus adalah finalis Kejuaraan Asia tahun 2000 namun kalah melawan Taufik.

Beberapa pemain yang tergolong sukses di luar pelatnas adalah Andre K Tedjono, kemudian ganda Markis Kido yang berpasangan dengan Markus Gideon, atau Pia Ziebadiah/ Rizki Amelia Pradipta sehingga dua nama yang terakhir ini layak dipanggil untuk seleksi tim Uber nanti. Perlu didiskusikan lebih lanjut bagaimana tipikal dari Hayom Rumbaka ataupun Soni. Apakah mereka masuk ke tipe X atau Y. Sedangkan Tommy Sugiarto pernah mengalami masa dikeluarkan dari pelatnas lalu bersinar di level dalam negeri, kemudian dicomot PBSI untuk masuk pelatnas lagi, di pelatnas semakin bersinar, dan sekarang dalam masa penyembuhan cedera. Ketidakstabilan Tommy yang berada di antara X dan Y perlu treatment tersendiri.

Sehingga ke depan muncul pertanyaan: Apakah perlu memasukkan Simon Santoso kembali ke pelatnas? Pertama perlu disadari bahwa Simon –selain Soni Dwi Kuncoro- adalah pemain terbanyak pengalaman di bagian beregu. Tahun 2004, saat Santoso berumur 19 tahun, dia telah menjadi pemain utama. Sehingga asam garam ketegangan dalam kejuaraan beregu (bulan Mei nanti di India) sangat dibutuhkan oleh tim ini. Simon tetap perlu masuk ke tim inti Thomas Cup. Namun mengingat sepertinya Simon bertipe “X” sehingga lebih pas kayaknya dia di luar pelatnas. Bisa menjadi best practices tersendiri (bila berhasil), pemain bulutangkis yang dibackup klub, namun saat kejuaraan yang memakai nama negara (misalnya Thomas/ Uber/ Sudirman) dia dipanggil lagi untuk seleksi. Hal yang sudah biasa di dunia tenis, ketika pemain mewakili individu atau profesional saat terjun di turnamen, dan dipanggil untuk mengikuti pemusatan saat piala Davis/ Fed dalam rangka mewakili negara.

Perlu dievaluasi apakah pelatnas Cipayung dengan fasilitas yang wah malah membuat pemain menjadi manja, atau gampang cedera bahkan. Fasilitas yang wah ini pernah disampaikan mantan pelatih Li Mao saat datang ke Pelatnas tahun 2011.

Sehingga bisa menjadipemikiran, ke depan definisi “profesionalitas” pemain bulutangkis. Akankah pemain bulutangkis statusnya mau menyamai pemain tenis. Artinya tanpa pelatnas, punya pelatih sendiri, bahkan tanpa negara (di kaos petenis kan emoh negara). Ataukah memakai nama klub. IMHO, kompetisi di bulutangkis memang unik. Masih memakai nama negara, tapi juga mengenal pertandingan antar klub. Mungkin masa depan bulutangkis –badminton dunia bahkan- adalah #back to club. Tentunya ini debatable. Namun ini soal lain, bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun