PADA halaman pertama harian Kompas tanggal 23 Januari 2025 pada bagian bawah kiri disebutkan masa kepresidenan Prabowo akan menjalani 4 (empat) potensi krisis. Keempatnya adalah sebagai berikut. Pertama, krisis fiskal dengan indikasi penurunan rasio pajak dan 90 persen surat berharga negara berbunga tinggi. Kedua, krisis moneter dengan indikasi pelemahan nilai tukar rupiah kendati sudah ditopang harga komoditas global. Ketiga, krisis industri dengan sektor manufaktur hanya berkontribusi 18 persen terhadap produk domestik bruto, turun dari 22 persen pada 2010. Keempat, krisis lapangan kerja ditandai dengan 59 persen pekerja bekerja di sektor informal dan tren pemutusan hubungan kerja (PHK) diprediksi berlanjut.
Di detikFinance pada hari Rabu, 22 Jan 2025 jam 16:30 WIB dengan judul "Tegas! Prabowo Batasi Penggunaan APBN Cuma buat 3 Hal Ini" di jumpa pers pasca Sidang Kabinet di Kantor Presiden, presiden Prabowo Subianto menetapkan tiga kriteria wajib untuk penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dana dari APBN hanya bisa digunakan jika memenuhi tiga kriteria ini. Pertama, anggaran dikeluarkan untuk penciptaan lapangan kerja dan produktivitas ekonomi di Indonesia. Kedua anggaran harus dikeluarkan untuk mendukung swasembada pangan dan juga energi. Ketiga, anggaran negara yang dikeluarkan harus bisa memberikan terobosan teknologi demi kemajuan Indonesia.
Apa kunci dalam menjawab tantangan pembangunan kekinian? Pakai teori bubur panas! Teori yang pernah disuarakan oleh Prof Ikhlasul Amal, almarhum adalah guru besar (emeritus) dari Fisipol UGM Yogyakarta.
Ceritanya begini. Meski sudah lewat 71 hari, tetapi berita dan komentar tentang meninggalnya mantan Rektor UGM bapak Profesor Ikhlasul Amal masih melintas di laman rekan-rekan sekalian. Ada yang di status facebook, ada juga yang di email duka. Ketepatan email grup Gunadarma (kampus Margonda dan/ atau Kelapa Dua) juga memberitakan hal tersebut. Tidak ada yang terlambat mengingat momen-momen legendaris dari beliau ini
Saya jadi ingat pernah disuruh mengisi kultum (kuliah tujuh menit) ba'da sholat dhluhur di mushola kantor Kemenko PMK (atau Pembangunan Manusia dan Kebudayaan). Isinya adalah mengutip ilmu -atau teori- dari beliau sang gurbes HI ini.
Waktu itu, sepertinya tahun 2016, salah seorang asdep di Kemenko PMK, yaitu Dr Awal Subandar (almarhum) menyuruh saya untuk ngisi ceramah singkat bakda ashar. Katanya biar semua dapat giliran -baik pegawai tetap (ASN) atau pegawai honorer, pun pegawai yang dari lembaga donor yang membantu Kemenko.
Lalu saya terinspirasi untuk mengambil tema tentang analogi atau beberapa perumpamaan dalam Quran. Antara ingat atau lupa lupa dikit, sepertinya waktu itu saya mengawalinya dengan analogi burung gagak. Lebih tepatnya burung gagak yang mengubur rekannya -sesama burung gagak lain. Dalam Surat Al-Maidah ayat 31, Allah mengutus burung gagak untuk menggali
Seingatku saat itu saya mulai khotbah dari analogi burung gagak yang mengubur rekannya -sesama burung gagak lain. Dalam Surat Al-Maidah ayat 31, Allah mengutus burung gagak untuk menggali tanah guna menguburkan mayat burung gagak. Sesama anak Adam, Kabil membunuh Habil. Melihat kelakuan burung gagak itu, Kabil menirunya. Lalu perumpaan apa yang terkait almarhum? Metafora atau analogi atau kiasan tentang "bubur panas".
Singkat cerita, analogi yang terkait alm Prof Ikhlasul Amal adalah teori bubur panas. Alkisah Rasulullah pernah mengatakan bahwa saat memakan makanan yang panas, mulailah dari pinggir. Karena ia relatif paling dingin dibanding bagian lainnya. Prof Ikhlasul mengatakan hal ini dengan fenomena bubur panas. Dalam kajian pembangunan, teori bubur panas ini terkait dengan prioritas untuk mengembangkan daerah pinggiran (periferi). Makan bubur panas dimulai dari pinggir, demikian pula pembangunan mestinya dimulai dari pinggiran. Di era presiden Jokowi (2014-2024) dinamai dengan 3T yakni terdepan, terluar, dan tertinggal.
Era orde baru terkenal dengan kebijakan yang terpusat. Ada yang menyebut bahwa era Orba dengan presiden Soeharto memilih prinsip "padang obore". Semacam falsafah Jawa yang dimunculkan salah seorang pangeran (atau Raja(?)) kerajaan Mataram bahwa prioritas itu di tengah-tengah, dalam hal ini Jakarta. Yang apabila dikembangkan lebih lanjut adalah harapan akan adanya fenomena "thrickle down effect" atau efek merembes ke bawah. Rezim orde baru cenderung memakai paradigma padhang obore tersebut, sehingga lebih suka memusatkan pembangunan di Jakarta. Itu salah satu teori dari pak Ikhlasul yang membekas di benak saya. Maka perlu untuk kita menghiduphidupkan paradigma ini.
Â