Memento Mori. Masih kuingat tulisan di dinding kontrakan pamanku, "Memento mori". Pepatah bahasa Latin yang berarti: Ingatlah kematian. Menurut pamanku itu perlunya kita memahami pentingnya menghargai hidup. Dia telah pergi. Pamanku yang hanya berjarak usia 6 tahun dengankum sehingga lebih pantas kupanggil "Mas" ketimbang "Oom", telah mati. Maka kupikir, Tulisan ke-102 milikku di kompasiana. Atau bisa jadi tulisan terakhirku di tahun ini, kutujukan ke paklik aku. Untuk siapa tulisan ini kutujukan? Kepada kamu. Kamu paman pamanku. Juga kamu pembaca semua.
Juga kepada akhir tahun ini. Somehow tahun 2024, menjadi tahun yang merubah gradually kehidupan persaudaraan kami. Dalam waktu 3 bulan, saya kehilangan tiga orang paman -dari pihak ibu. Paman yang terkecil -yang urutan kedelapan- yang selalu saya lihat penuh ceria dan semangat, meninggal pada bulan Maret. Paman kedua, yang lebih tua dan penuh pengalaman, menyusul pada bulan April. Dan paman ketiga, yang pernah menemani masa kecil saya dengan tawa dan takwa serta kebijaksanaannya, pergi di bulan Mei.
Tiga pria, tiga kisah hidup yang berbeda, dalam tiga bulan, tapi semuanya mengakhiri perjalanan mereka di tahun yang sama. Ibuku sepuluh bersaudara. Beliau putri ketiga. Anak pertama kakek/ nenekku adalah seorang perempuan, yang kami panggil: Budhe. Anak kedua adalah pakde yang meninggal terlebih dahulu di masa covid. Adik adik ibuku lelaki semua. Yang meninggal ini adalah anak ke-10 di bulan Maret, anak keenam di bulan April, dan anak ke-8 di bulan Mei. Mereka semua kupanggil: Om, dari asal kata "oom" dalam bahasa Belanda.
Anak-anak urutan genap di keluarga ibu, putra/i dari kakek nenek kami, telah habis. Saya sempat tercenung, mengapa semua ini terjadi. Mengapa Tuhan memilih mereka, orang-orang yang saya cintai, untuk pergi begitu mendalam, tiba-tiba, dan berturut-turut?
Setiap paman membawa kenangan yang berbeda. Paman terkecil adalah teman bermain di masa aku SD. Paman kedua, lebih tua, selalu memberikan nasihat bijak tentang kehidupan dan pekerjaan. Paman ketiga, meskipun lebih pendiam, memiliki cara yang lembut dalam mengatasi masalah. Â
Di kecamaan Trucuk kabupaten Klaten, saya berdiri di dekat makam mereka. Tiga pusara di satu pekuburan, mengingatkan saya bahwa kehidupan ini begitu rapuh. Namun yang paling berat adalah rasa sesal yang terus menggelora di hati saya. Mengapa saya tidak menemani mereka saat sakaratul maut. Saya merasa seolah-olah Tuhan tidak adil dalam memberitahuku. Kenapa mereka harus pergi begitu cepat? Kenapa harus tahun ini?
Saya teringat ayat Al-Qur'an yang selalu saya pegang teguh, "Tiada daun yang jatuh tanpa sepengetahuan Allah." Begitu dalam artinya, namun begitu sulit untuk saya terima saat kesedihan melanda begitu berat. Bagaimana mungkin sesuatu yang terjadi adalah kehendak Tuhan yang Maha Kuasa, padahal saya merasa kehilangan yang begitu besar?
Kehilangan tiga paman dalam setahun membuat saya sadar bahwa hidup ini sangat sementara. Apa yang bisa saya lakukan selain menerima dan berdoa untuk mereka? Mereka telah menjalani takdir mereka, dan sekarang giliran saya untuk menjalani takdir saya dengan lebih baik. Seandainya nasib tidak berpihak, setidaknya saya berjuang dengan darah dan air mata.
Hari itu, saya kembali ke Klaten, tempat terakhir saya mengantarkan paman-paman saya. Saya berdiri di samping makam mereka, merenung dengan lebih tenang. Saya tidak lagi merasa marah pada Tuhan. Sebaliknya, saya merasa bersyukur atas hidup yang telah saya miliki, dan saya berdoa agar Tuhan memberi kekuatan untuk menjalani sisa hidup dengan lebih penuh makna.
Tahun-tahun pertama saya berinteraksi dengan paman terkecil adalah masa yang penuh kehangatan. Pada tahun 1978 hingga 1987, kami tinggal bersama, berbagi ruang dan waktu. Paman yang lahir pada tahun 1965 ini lebih dari sekadar seorang paman; dia seperti saudara yang selalu ada dalam keseharian kami. Kami banyak bermain bersama, saling bercerita, dan terkadang bertengkar ringan, tetapi selalu berakhir dengan tawa. Dia adalah teman yang sangat dekat di masa kecil saya, seseorang yang selalu ada ketika dibutuhkan. Saya memperhatikan benar cara dia sholat dan berdoa.
Sementara itu, paman yang kelahiran 1963, jarang kami temui. Sejak SMP, dia sudah menetap di Jakarta. Hubungan kami tidak seakrab dengan paman terkecil. Paman yang terkecil, yang lahir pada tahun 1969, memiliki kenangan yang tidak begitu dekat juga dengan kami. Namun kualitas pertemuan sangat mendalam. Ketika dia masih di sekolah dasar, dia sering datang ke Karanganyar untuk bermain bersama kami. Kami menghabiskan banyak waktu bersama, menikmati hari-hari di pedesaan yang tenang. Ketika SMP, dia pindah ke Bekasi untuk tinggal bersama Budhe kami.