Innalillahi wa inna ilaihi roojiuun. Pada hari Kamis pahing 17 Januari 2019, Dr Tony Prasetiantono SE MSc meninggal dunia. Beliau adalah seorang dosen yang -katakanlah- paling terkenal di FE UGM. Saya katakan terkenal karena tulisannya hampir tiap pekan muncul di harian Kompas. Di Jogja beliau mengasuh salah satu siaran di radio Geronimo Jogja yaitu "Joki Manis" yang merupakan akronim dari poJOk eKonomI Manajemen bisNIS, dengan iringan musik kesukaan beliau, yaitu Jazz. Buku karangannya barangkali sudah puluhan, yang merupakan untaian opini-opini lepas di berbagai media.
Beliau memakai bahasa yang amat sangat populer. Persoalan ekonomi yang sulit diceritakan dengan mudah dan menarik. Cuman memang karena terlanjur gaya ngepop, saya belum pernah baca tulisan jurnal beliau. Di FEB UGM mungkin perihal itu bisa dibedakan dengan bu Sri Adiningsih. Bu Nining jarang keluar tulisan popular, tapi jurnalnya banyak. Yang mendekati "kutub" antara pak Tony atau bu Ning bisa jadi pak Anggito Abimanyu dan/ atau pak Mudrajat Kuncoro. Mereka berdua menulis di koran dan di jurnal juga.Â
Terlanjur ngepop dan terkenal itu sepertinya membebani pak Tony saat mengambil S3 di amerika. Karena opportunity cost tinggi (sebagai pembicara seminar yang tergolong mahal) dan sepertinya beliau bukan ekonom klasik yang mengutamakan modeling dan matematika, maka kuliah doktonya pindah dari Amerika ke Australia. Konektifitasnya kurang lebih begini: studi economics di Amerika mengandalkan matematika, dan modelnya. Mungkin pak Tony cenderung atau lebih cocok ke economics as an art., alias tidak science banget. Seorang kakak angkatan pernah bilang ke saya di tahun 2002an, bahwa ekonom JS Uppal pernah mengatakan kepadanya kalau pak Tony mau lanjut sekolah di USA bisa-bisa sampai 10 (sepuluh) tahun baru lulus. Namun penggantinya tetap keren juga, yaitu ANU (Canberra).  Â
Menurut saya tipikal dosen secara umum dapat dibedakan terkait kemampuan berbicara dan kepandaian menulis. Hal itu bisa dibedakan menjadi 2 (dua) jenis dosen. Ada yang bisa nulis -tetapi tidak bisa ngomong. Ada yang bisa ngomong tapi gak bisa nulis. Pak Tony ini lengkap: bisa nulis bisa ngomong. Tulisannya renyah, enak dibaca, tidak hanya bagi ekonom tapi khalayak umum. Ngomongnya juga renyah, enak didengar, dan lucu.Â
Soal keahlian pak Tony menulis ini saya pernah diberitahu oleh pak Agung Nur Fajar (mantan Rektor Stekpi, alumni S1 Akuntansi UGM yang melanjutkan S2-nya di Ilmu Ekonomi UGM) sekitar tahun 2001. Pak Agung mengatakan kalau (alm.) pak Tony ini sampai menghitung jumlah kalimat (bahkan kata) dalam setiap paragraph di tulisannya. Tujuannya agar tidak terlalu banyak kata/ kalimat dalam sebuah paragraf.Â
Satu lagi, jauh sebelum ada stand up comedy, priyayi Muntilan ini sering menyisipkan guyonan di setiap presentasi -baik kuliah maupun seminar. Guyonan yang tidak membuat ketawa terpingkal pingkal, tapi -meminjam istilah Cak Lontong- membuat orang "mikir". Lalu kita sebagai audiensnya jadi tersenyum simpul. Pernah suatu saat FE ugm tahun 1998 atau 99 mengadakan seminar di Gedung MM, pada sesi kedua, moderatornya Wimar Witoelar. Pembicaranya dosen-dosen seangkatan: Bu Adiningsih, pak Anggito, dan pak Tony. Menurutku pak Tony yang paling lucu saat itu.
Selain itu beliau ini update dengan kondisi kekinian. Guyonan beliau (waktu saya ambil kuliah Perekonomian Indonesia di semester pendek 1997) tentang gerombolan si Berat, sama film Titanic, yang tentunya lebih up to date dibanding dosen lainnya. Analogi tentang karamnya Titanic dipakai karena waktu itu terjadi krisis ekonomi Indonesia tahun 1998 yang hampir saja meluluhlantakkan NKRI. Ada buku tulisan Adam Scwarzt yang bertajuk "A Nation In Waiting". Beliau bahas di ruang kuliah. Karena dari judul saja buku itu -menurut pak Tony- sudah bernada satire: mosok negara kok dalam penantian, Â maksudnya penantian ke arah mana. Kemudian hal itu dibahas lagi saat siaran radio, dan dikaitkan dengan akan tenggelamnya kapal, sehingga pertanyaannya: Apakah Indonesia akan "voyages to the bottom of the sea".
Seingat saya kalimat tersebut kemudian beliau tuangkan di dalam salah satu kolom opini di koran. Saking seringnya mendengar istilah "voyages to the bottom of the sea" (yakni pertama di ruang kuliah, kedua di seminar, ketiga di radio, keempat di artikel opini di koran (kompas(?)) dan kelima tulisan di buku beliau) sehingga predikat tersebut melekat ke diri pak Tony --menurut beberapa teman kuliah saya. Salah satunya adalah Dr Rini Yayuk P yang sekarang menjabat pengurus MM Universitas Terbuka, mengingat akan hal tersebut: pak Tony dan fenomena Voyages to The Bottom od The Sea.
Bagi saya pak Tony memang figur inspiratif. Mengikuti kelas beliau membuat inspirasi untuk menulis menjadi ada terus. Judul voyages to the bottom of the sea di atas  juga saya kutip untuk tulisan di jurnal milik Komisariat HMI Komfak FE UGM. Yang saya ingat kata-kata pak Tony di kelas saat itu, kurang lebih, "Kita ini nanti perannya jadi apa saat kapal tenggelam. Apakah ada yang panik. Apakah ada yang mau menyelematkan diri sendiri. Mau membantu orang lain. Atau seperti pemain biola itu, yang tetap saja menggesek biolanya, yang berarti pura pura menutupi tingkat kestresannya ..."
Beberapa kegiatan yang melibatkan kami sering berinteraksi (selain kuliah beliau yang pertama kali dan satusatunya saya ambil saat itu) adalah ketika saya jadi pengurus Himiespa tahun 98/99. Himiespa adalah Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan. Beliau ini lulusan SMA Jon De Britto Yogya, dan tergolong dekat dengan mahasiswa. Kalau ada kegiatan mengisi diskusi mahasiswa (namanya mahasiswa, jadi tanpa bayaran atau free alias gratis) pasti beliau bersemangat untuk datang.
Uniknya meski beliau ini tidak pernah marah marah ke mahasiswa (malah sering menjadikan mahasiswa itu bahan guyonan kalau salah) tapi pelampiasan kejengkelan malah ke sesama dosen. Seingat saya ada 2 (dua) kejadian selama kurun waktu itu ketika beliau bergesture tidak begitu suka ke dosen, dan diungkapkan ke beberapa mahasiswa. Pertama waktu mengisi pembekalan untuk pemandu Orientasi Kampus tahun 1999. Kedua obrolan dengan seorang dosen IESP juga ketika jurusan mau mengadakan konsinyeering di sebuah hotel di Jogja (sebeah megaria).