SEKITAR 3 (tiga) hari yang lalu, guru besar ilmu politik UGM --yaitu Prof M. Amien Rais- diperiksa oleh Polda Metro Jaya. Polisi menjadwalkan pemeriksaannya terkait hoaks yang pernah disampaikan Ratna Sarumpaet. Uniknya, pak Amien menyatakan adanya kejanggalan dalam surat pemanggilan tersebut.Â
Salah satunya adalah penulisan namanya yang tidak lengkap di dalam surat pemanggilan. Di dalam surat tersebut ditulis Amien Rais. Padahal menurut beliau, semestinya ditulis lengkap --yaitu Muhammad Amien Rais.
Seingat saya dalam salah satu buku beliau, ditulis juga inisial "MAR" tersebut. Mungkin di bagian kata pengantar buku, pengganti tanda tangan, ditulislah MAR --yang merupakan akronim dari Muhammad Amien Rais (MAR).
Dulu sewaktu hangat-hangatnya pak Habibie (selengkapnya Prof Dr Ing Baharudin Jusuf Habibie --pakai Muhammad enggak sih ya) menjadi presiden menggantikan Haji Muhammad Soeharto sempat ada rame-rame perseteruan Amien versus Ghalib di salah satu kanal televisi.
Ghalib adalah Andi Ghalib (selengkapnya: Letjen TNI (Purn) H Andi Muhammad Ghalib, SH, MH) yang merupakan Jaksa Agung kala itu. Mereka berdua ramai karena konon katanya pak Ghalib ditelepun pak Habibie terkait penanganan kasus korupsi Bapak Pembangunan Orba.
Ketika ditanya mengapa sepertinya kurang sopan dalam memanggil pak Amien kok cuman "Amien" saja (kesannya njangkar --kalau kita pakai istilah bahasa Jawa), Ghalib menjawab: Itu kerjaan wartawan, saya selalu menyebut pak Amien dengan "Profesor Amien".
Meski sekarang banyak yang mencomooh, namun kita perlu menengok era tempoh doeloe saat prof MAR ini amat sangat berjasa dalam rangka penumbangan Orba. Asal muasalnya di suatu seminar pada tahun 90-an (mungkin 1994 ya) pak Amien ditantang paranormal Permadi: Apakah bung Amin Rais berani jadi Presiden? Pak Amien menjawab, "Insyaallah".
Berita tersebut menjadi heboh karena membicarakan suksesi di era Orde baru adalah tabu, bahkan nyawa menjadi taruhannya. Namun keberanian dari anak negeri untuk membobol tembok benteng pertahanan Orba yang demikian kokoh, telah muncul.
Palu pendobrak itu di tangan tokoh Muhammadiyah, orang Solo, ahli politik (hubungan internasional).. yaitu Dr MAR. Saat presiden Soeharto sudah di ujung tanduk (tahun 1998), beliau memanggil tokoh Islam ke cendana untuk bertukar pendapat. Pak Harto setuju untuk mengundang rohaniawan semacam Gus Dur, Emha Ainun Nadjib, dan Nurcolish Madjid.
Namun ketika disodori nama "Amien Rais", beliau menolaknya. Alasannya, kritikan MAR ini terlalu keras (pedas?), kurang lebih seperti itu.