Kenangan Ramadhan 2016
      Mbak Tik, panggil saja begitu, adalah salah satu sepupu jauh dalam dzurriyah tapi dekat dalam silaturahim. Pada usianya yang hampir kepala enam, dia belum bisa membaca al Qur'an. Aku baru tahu ketika dia mengutarakan keinginannya untuk belajar. Bukan dia malas belajar sebelumnya, tetapi selalu tidak menemukan guru yang mau. Ini alasankah? Aku jamin bukan. Soalnya aku sendiri terus mencari dan ada saja kendala, berganti-ganti majelis bukan karena tidak suka tapi kalau sudah berjalan beberapa kali anggotanya 'mrotoli' hingga tinggal aku sendiri. Tapi aku tidak putus asa, aku selalu mencari dan akhirnya dapat di daerah Banyumanik yang khusus mempelajari tahsin oleh ustadz-ustadz yang spesialisasinya tahsin.
      Singkat cerita, karena sekolahku di daerah Pandanaran kuanggap tidak terlalu jauh dari rumahnya yang di Sawojajar, aku menawarkan diri untuk mengajarinya. Sepakatlah aku datang tiap Sabtu setelah selesai mengajar. Untuk menyenangkan hatinya aku selalu membawa oleh-oleh seadanya yang bisa kudapat diperjalanan. Kadang minyak, beras, atau semacamnya.
     Aku pakai buku iqro jilid 1 seperti umumnya orang belajar ngaji pertama. Di pertemuan pertama aku minta dia membaca halaman 1. Walaupun pengenalan hurufnya cukup bagus aku tidak memasang target tinggi seperti ustadz-ustadzku di majelis. Tentu saja, yang penting dia bisa membaca dan merasa gembira dengan al Quran yang dibacanya. Itu saja. Maka aku tidak melatihnya makhrojul huruf, shifatul huruf atau yang rumit-rumit lainnya. Apalagi dia sering sariawan. Aku jaga supaya dia tidak merasa berat belajar.
      Pertemuan satu, dua, dan tiga berjalan lancar sampai iqro pertama sudah setengah buku. Lalu di pertemuan berikutnya, mulailah waktu belajar yang hanya 1 jam itu setengahnya diisi dengan keluhan. Mengingat kondisinya, aku mendengar saja. Kalau ceritanya terlalu lama biasanya aku ketuk-ketuk pelan  bolpoin yang kubawa di meja. Lalu mulai lagi. Tapi kemudian dia cerita lagi sampai waktunya aku pulang.
      Sampai pada satu saat, ketika aku sampai di rumahnya, lagi ramai."Ada apa, Mbak?" tanyaku.
"Itu, si Rofik datang?" jawabnya. Di ruang itu ada tiga anak muda seumuran.
"Siapa?" tanyaku lagi.
"Anak nya sana," jawabnya enggan. Dia palingkan muka.
"Oh," aku paham. Dia anak dari istri kedua suaminya. Aku duduk diam di depannya sambil menyiapkan buku iqro' Kami biasa ndheprok di ruang tamu yang tidak begitu luas. Ruang ini bukan hanya ruang tamu, tapi juga ruang keluarga, ruang jahit, ruang setlika, dll. Â
      Setelah Rofi dan anak-anak itu pergi. Akupun bersiap-siap. Tapi kulihat wajah Mbak Tik seperti tidak ada semangat. Tampak lesu, letih seperti menyimpan sesuatu yang berat.
"Ada apa, Mbak?" tanyaku sambil menyentuh pelan kakinya yang nempel di kakiku.
"Aku ki dosa ya, Yun? Ak ki dosa opo ora?" tanyanya bingung sambil matanya entah menatap apa.
"Lha kenapa, to?"
"Aku tak crito, yo? Tapi aku ojo mbok salahke," katanya ragu-ragu memelas.
"Ha... ha... ha...!" aku tertawa, "Opo, sih? Marake kepo!" kutatap wajahnya.
"Aku ki loro ati karo bapak'e bocah-bocah. Bagaimana tidak? Dulu, pas si Rofik mau lahiran tau ndak? Bapak'e ki minta kalungku. katanya mau buat tambahan usaha. Aku tahu pas itu bengkel cat mobilnya memang lagi banyak langganan. Eh, tahunya apa, coba? Ternyata kalung itu dijual untuk ngongkosi lahirannya si Rofi. Padahal pas itu aku kan juga nglahirin si Nug. Aku cari biaya sendiri utang sana sini. Sementara, uang kalungku dipakai dia. Habis lahiran, aku pulang sendiri, ngurusi awakku sendiri. Dia ndak pulang blas! Dia ngurusi istri mudanya! Siapa yang ndak sakit hati, Yun??! Siapa coba??!" dia berhenti sejenak mengatur nafasnya, menahan air matanya lalu melanjutkan, "Jadi tiap kali aku lihat wajahnya si Rofi, aku keingat terus. Sakit hatiku duh... sampai sekarang ndak berkurang-kurang." Lalu dia berhenti, mengusap-usap air mata yang sekarang berjatuhan dengan kerudungnya. Aku diam saja. Bersimpati pada perasaannya. Aku belum pernah mendengar cerita ini sebelumnya. Tapi kalau dia 'korban' poligami, aku sudah tahu lama. Aku kira dia baik-baik saja. Ha! Baik-baik saja, emang ada wanita yang dipoligami baik-baik saja? Â
      Setelah puas menangis dia bertanya lagi, "Aku dosa ndak?"
"Yo, dosa, " jawabku sambil tersenyum. Lalu aku cium pipinya sebagai tanda sayang dan simpati.
"Kita tidak bicara tentang dosa dan salah dulu ya, Mbak,' kataku pelan banget, takut melukai hatinya.
"Begini, kejadiannya sudah duapulun tahun lalu, kan?" aku melanjutkan, "duapuluh tahun menyimpan sakit hati, hasilnya apa?" dia diam.
"Kok eman-eman ya, Mbak, hati kita yang sempit itu hanya dipenuhi penyakit. Aku paham, pas kejadian sampai beberapa waktu pasti sulit banget kondisine. Aku paham. Tapi kan itu sudah lama sekali. Bisa ndak kalau diakhiri. Maaf ya, Mbak, kalo aku hanya bisa ngomong. Tapi kan waktu berlalu, anak-anak tumbuh. Kehidupan tetap berlangsung. Kita masih diberi umur dan pasti berakhir cepat atau lambat. Lha kan rugi banget kalau kita tiba-tiba mati kok hati kita masih bengkak dengan penyakit. Maaf, lho, Mbak. Eman-eman tenan iki. Mbak Tik orang baik, dalam keadaan kekurangan pun masih suka menolong, sabar sama anak-anak. Mau diduakan bertahun-tahun. Apa ndak rugi kalau rusak pahala gegara sakit hati?"
"Lha aku terus piye? Kamu ndak ngalami soalnya," suaranya hampir tak terdengar.
"Kan aku tadi sudah minta maaf. Tapi, justru karena aku ndak mengalami aku bisa memandang lebih netral. Lha nek aku mengalami malah nanti tak suruh mukuli...ha...ha...ha..!" aku berusaha mencairkan suasana, tapi kayaknya gagal.
"Maafkan saja., Mbak. Maafkan semuanya. Bukan untuk keenakan mereka, tapi untuk kebersihan hati panjenengan. Biar ringan. Ingat ajal wae lah. Besok kita mati, insyaAllah mati dengan husnul khotimah. Lha bagaimana bisa husnul khotimah kalau hati tidak mampu memaafkan. Lagian sudah 20 tahun, Mbak. Mau sampai kapan?"  Aku memandanginya yang sesekali membuang napas, sesekali membuang pandang, jauh.
"Mbak, tolong doa ini diapalin ya, terus ucapkan kapan saja, ya" Lalu aku ajarkan satu doa sederhana sekalian artinya. Allahumma inni as-aluka nafsan bika muthma-innah, tu'minu biliqo-ika wa tardho bi qodho-ika wataqna'u bi 'atho-ika. Ya Allah, aku memohon kepadaMu jiwa yang merasa tenang kepadaMu, yang yakin akan bertemu denganMu, yang ridho dengan ketetapanMu, dan yang merasa cukup dengan pemberianMu.
        Aku tahu tidak mudah menerima saran. Tanda keras hati salah satunya sulit memaafkan. Padahal diakhir nanti yang akan menghadap Allah adalah orang-orang yang memiliki hati bersih.Tapi hanya itu yang bisa aku lakukan. Mungkin dia sakit hati sama saranku saat itu, tapi aku yakin dia orang baik. Mungkin dia hanya butuh booster untuk menguatkan kebaikannya.
      Dalam kondisi Mbak Tik, aku bisa sangat memahami. Peristiwa kalung mungkin hanya pemicu saja dari menggunungnya masalah-masalah lain sebelumnya. Kemarahan yang tadinya sudah menyala bertambah subur dengan perilaku tidak adil yang lain dalam pernafkahan, perhatian, kasih sayang, dll. Aku bisa memahami bagaimana perasaan begitu banyak wanita lain yang mengalami hal yang sama. Poligami  diijinkan, tapi sudah diperingatkan bahwa tidak akan ada lelaki yang bisa adil sehingga satu istri saja lebih baik. 'Nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi, 1, 2,3 atau 4. Tapi jika kamu tidak bisa berlaku adil, pilih satu saja.' (QS. An Nisa: 3) dikuatkan lagi di ayat 129 dikatakan ' ... sekali-kali kamu tidak dapat berlaku adil.' Poligami menjadi buruk tentu karena pelakunya. Bukan ayatnya. Kalau salah mempraktekannya, pasti banyak korban. Tidak hanya harta tapi juga hati, keturunan keluarga dan seterusnya.Â
       Pada waktu-waktu berikutnya aku tidak bisa datang ke rumahnya karena tahun ajaran 2017 ada peraturan baru sekolah lima hari. Sebetulnya pas hari Sabtu aku ada waktu tapi jarak rumahku dan rumahnya lebih 20 kilo. Berat di jalan.
       Setahun kemudian ketika aku sempatkan berkunjung, hatiku sangat gembira melihat wajah dan senyumnya yang cerah.  Aku dipersilahkannya duduk dan dihidangkan cemilan-cemilan. "Aku dah dapat guru ngaji," kabarnya, "Ustadz mushola kampung mau ngajari ibu-ibu. Tiap bulan bayar limapuluh ribu," lanjutnya.
"Alhamdulillah. Berarti ngajine wis lancar saiki?"
"Ya, belumlah. Wis tuwo, susah belajarnya," jawabnya.
"Bisa, bisa. Aku juga belajarnya dah tua dulu," kataku menyemangati.
"Halah... ya beda. Â Kamu kan pinter," pujinya. Kok tidak dari dulu?
"Oh, ya, Yun. Alhamdulillah, aku sudah bisa memaafkan. Ya, susah awalnya. Tapi ya kayak yang kamu bilang, eman-eman kalau nanti aku mati kok hatiku masih kotor. Aku dzikir terus. Pagi siang sore, wis kapan wae. Aku minta Allah meringankan hatiku. Istighfar terus pokok'e. Berbulan-bulan lho, Yun. Lha kok lama-lama aku kalau ketemu Rofi apa bapaknya sudah tidak ada lagi marah. Aneh yo? Lha bener omonganmu, hatiku sekarang plong rasanya." Aku tersenyum. Segera kuraih badannya, kupeluk erat-erat, kuciumi pipinya. Dari cerita-cerita yang sampai di telingaku, dia masih diabaikan suami. Tapi sekarang dia bisa memaafkan. Ya, Allah, ijinkan hamba membawa wanita pemenang ini mengunjungi baitullah suatu hari nanti. Amiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H