SEKOLAH LONCENG KEMATIAN MORAL
Salah yang tidak disadari sebagai kesalahan merupakan kesalahan yang paling salah dari setiap kesalahannya salah. Akan tetapi, kesalahan yang disadari salahnya, sudah merupakan setengah dari kebaikan yang belum dilakukan dengan baik. Belajar menjadi yang baik, kadang melewati kesalahan, tetapi kesalahan yang segera disadari adalah kesalahan yang akan segera menjadi kebaikan. Bukan kesalahan salah yang terus-menerus dilakukan dengan tenpa menyadari kesalahannya salah. Hal itu merupakan kesalahan yang akan terus salah dan akan menjadi salah terus jika tanpa kesadaran salahnya kesadaran salah.
Sinyalemen kuat, yang telah begitu lama berada di dunia pendidikan adalah sebuah kesalahan yang tidak disadari salahannya. Apa yang dimaksud? Yakni pendidikan kita telah terjebak dalam ranjau-ranjau cangkang ilmu pengetahuan dan terjerembab pada ilmu pengetahuan yang bersifat dekoratif dan formalistik. Semangat mengajarkan semangat ilmu pengetahuan atau jiwa zaman dari pengetahuan telah tidak lagi menjadi semangat dunia pendidikan yang memiliki semangat menzaman. Betapa tidak? Setiap sekolah hanya berfikir dalam sebuah perlombaan angka, “perjudian” mata pelajaran. Tak adalagi sekolah yang menyadari betapa pentingnya jiwa ilmu ditanamkan kepada jiwa indah anak didiknya. Kebiasaan berbuat baik, menjadi kebaikan yang dibiasakan dengan baik telah terabaikan dari misi sekolah yang terbaik. Budi pekerti yang kadang menjadi visi atau motto sekolah, hanyalah cangkang tanpa isi atau dekorasi yang NATO (No Action Talk Only), dengan maksud hanya untuk menghibur peminat dengan keberpura-puraan sekolah bermoral, padahal realitas yang ada sedang terjadi proses demoralisasi hakikat bersekolah.
Tragis memang, tapi itulah kenyataan yang sebenar-benar nyata dalam kenyataan yang nyata benar. Tak bisa dipungkiri, bahwa sekolah tidak lagi terlalu peduli dengan moralitas anak didik yang telah lama menjadi semangat dari misi persekolahan yang tersekolahkan. Kini sekolah dan sekolah kini, hanya memikirkan bagaimana merekrut siswa-siswi dikalangan berduit, kemudian kebagian dana BOS yang gede dan Boss kebagian dana yang gede, target mencapai nilai UN yang tinggi, tampilan gedung yang megah, serta berlomba-lomba memikirkan kurikulum kerja atau undangan pasar yang tidak jelas, benar-benar telah menghantui mindsetsekolah. Tentu saja hal ini bukan salah, namun belum seluruhnya tepat, karena sekolah memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan nasional yang holistik dan realistik.
Tujuan pendidikan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Bab II Pasal 2, dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Penetapan tujuan sebagai bangsa yang bermartabat atau berperadaban tinggi, begitu sangat penting, sebab kemajuan suatu bangsa senantiasa terkait dengan persoalan moral bangsa. Perhatikan dengan cermat begitu besarnya pengaruh moral terhadap keadaan suatu bangsa. Menurut Lickona pada tahun 1992, sekurang-kurangnya ada 10 tanda kehancuran sebuah bangsa, yakni sebagai berikut.
- Meningkatnya kekerasan dikalangan remaja atau pelajar.
- Penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk.
- Pengaruh peer group(kelompok kawan sebaya) yang kuat dalam tindak kekerasan.
- Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, seks bebas dan lain-lain.
- Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk.
- Menurnunnya etos kerja.
- Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru.
- Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara.
- Membudayakan perilaku tidak jujur.
- Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Kesepuluh butir di atas, rasanya bukan lagi persoalan yang tajut atau malu lagi untuk diungkapkan, sebab secara faktual apa yang senyatanya ada di ruang kelas atau di sekolah adalah perilaku para siswa yang menggambarkan kemelorotan moral. Seperti gemar menyontek, tawuran pelajar, terlibat narkoba, pergaulan bebas bahkan pencurian kendaraan bermotor dan perampokan, serta perilaku penyimpangan seks sadis salah satu contohnya adalah peristiwa dimana seorang anak SMP diperkosa oleh dua puluh tujuan orang temannya sendiri.
Data yang cukup mengejutkan dari berbagai berita yang dilansir dari koran, televisi, internet dan hasil penelitian menunjukan angka pelanggaran yang fantastis, antara lain sebagai berikut.
- Kekerasan dikalangan remaja atau pelajar.
- Laporan Departemen Pendidikan Nasional DKI Jakarta tahun 2000, melansir sebanyak 29 pelajar SLTP/SLTA meninggal akibat tawuran dalam kurun waktu satu tahun dan 25% dari total pelajar di Jakarta pernah terlibat tawuran. Tidak hanya itu, kekerasan atau perkelahian dikalangan pelajar perempuan juga ada salah satunya adalah perkelahian pelajar perempuan di salah satu SMA Negeri di Tulung Agung yang dilansir bebagai media pada awal tahun 2009.
- Meningkatnya perilaku seks bebas remaja atau pelajar
- Hasil survei Chandi Salmon Conrad di Rumah Gaul binaan Yayasan Pelita Ilmu pada 117 remaja sekolah diketahui 42% menyatakan pernah berhubungan seks, bahkan 52% masih aktif menjalani seks bebas sampai sekarang. Salah satu contohnya adalah peristiwa yang tejadi di Tasikmalaya dimana seorang anak SMP diperkosa oleh dua puluh tujuan orang temannya sendiri.
- Penggunaan bahsa dan kata-kata kasar.
- Dalam buku Quantum Teaching,lebih dari 75% guru menggunakan bahasa negatif dalam komunikasi mengajar di kelas, dan penggunakan bahasa “pokem” telah menjadi bahasa pergaulan pelajar atau mahasiswa dengan presentase mencapai 76% dan mirisnya yang merasa bangga ketika menggunakan bahasa “pokem” dalam pergaulan mencapai 82%.
- Peningkatan kualitas perilaku merusak diri.
- Hasil penelitian dari 5 SMK-TI Bogor menunjukan bahwa 30.3% siswa terlibat minuman keras (27% bahkan sampai mabuk), 15.4% pecandu narkoba, 34.6% berjudi atau taruhan, 68% menonton film porno dan 3,2% pernah melakukan hubungan seks.
- Perilaku berbohong.
- Kasus orang tua yang merasa kehililangan anaknya karena terlambat pulang dari sekolah bukan hal yang baru, beberapa sekolah SMP/SMA di kota Bandung misalnya, mengaku sering ditelfon orang tua yang kehilangan anaknya dengan belajar bersama padahal yang terjadi sebenarnya mereka bermain dengan temannya namun, memberitahui orang tua dengan alasan belajarbersama.
- Menurunya etos kerja.
- Data dari 5 SMK-TI Bogor menunjukan bahwa : 87% siswa sering tidak mengerjakan PR, 75% Sering membolos, 33% sering keluyuran dengan kawan pada waktu jam sekolah, 57% gemar duduk-duduk di pinggir jalan
- Rendahnya rasa hormat pada orang tua dan guru
- Dari data SMK-TI Bogor menunjukan bahwa 81% siswa sering membohongi orang tua, 30,6% pernah memalsukan tanda tangan orangtua/wali/guru, 13% sering mencuri dan 11% sering memalak.
- Adanya rasa saling curiga
- Saling curiga masih sangat besar terjadi dikalangan pelajar hingga mencapai 78%. Bahkan sevagian dari pelaku nyontek di dasarkan pada kecurigaan. “jangan-jangan yang lain nyontek, jadi kalau saya tidak nyontekan rugi”.
Dari beberapa penjelasan mengenai pentingnya pendidikan moral di sekolah dan beberapa data aktual yang telah terjadi di masyarakat akibat kurangnya pendidikan akan moral tersebut, kiranya semua orang patut dan sepantasnya berfikir bagaimana cara menyelamatkan sekolah dan fungsi utamanya sebagai agent of morality building,bukan agen jual beli ilmu (pasar ilmu) yang serba pragmatis dan materialistik.
Berikut beberapa cara atau tips untuk menyelamatkan sekolah dari lonceng kematian moral.
- Moral Komitmen
- Buat komitmen moral dalam visi dan misi sekolah secara eksplisit. Moral dutetapkan dalam visi dan misi sekolah, agar menjadi landasan normatif secara proses pembelajaran, apapun mata pelajarannya dan yang jauh lebih penting berkomitmenlah terhadap apa yang sudah ditetakan sebagai komitmen moral, karena sekolah berperan sebagai kekuatan untuk melatih komitmen pada moral. Itulah moral komitmen.
- Moral Guru
- Guru moral teladan, jadikan semua guru sebagai teladan moral, tidak perduli guru mata pelajaran apa pun, sebab intinya semua mata pelajaran mengandung muatan moraldan guru merupakan representasi dari setiap mata pelajaran.
- Moral Lingkungan
- Jadikan lingkungan sekolah sebagai semaian perilaku bermoral yang senantiasa memiliki moral awwarness, moral feeling, moral loving, moral knowing,dan moral actingyang dilakukan secara terintegrasi dalam setiap perilaku budaya sekolah.
- Moral Pendidikan
- Bangkitkan emosi moral pendidikan dari setiap bahan ajar yang disampaikan guru. Jangan lepaskan pengetahuan kepada kepala anak, sebelum di celup kedalam priuk pengetahuan bermoral. Transfer pengetahuan kepada anak dengan kesadaran untuk membangun karakter anak didik melalui moral ilmu yang dipelajarainya.
- Moral Prestasi
- Hargai setiap anak dengan pendekatan moral prestasi. Artinya, bahwa setiap anak dipastikan dapat berbuat untuk mencapai belajar prestasi, sekalipun tidak mencapai prestasi belajar. Belajar prestasi tentu bukan hanya prestasi dalam belajar, tetapi berprestasi dalam aspek kehidupan apapun dan semua anak dipastikan dapat mencapainya. Akan tetapi, hargai apapun prestasi yang dicapai oleh anak didik, sekecil dan sesederhana apapun.
- Moral Perilaku
- Tumbuhkan perilaku bermoral pada anak, sebab perilaku bermoral adalah moral berperilaku. Artinya, perilaku bermoral merupakan bawaan yang bersifat alami dan natural bagi setiap orang anak didik berkesanggupan untuk menampilkan perilaku selama pendidikan mampu menstimulasinya dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H