Mohon tunggu...
Yuni Retnowati
Yuni Retnowati Mohon Tunggu... Dosen - Biarkan jejakmu menginspirasi banyak orang

Dosen komunikasi penyuka film horor dan thriller , cat lover, single mom

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Tirai

11 Mei 2020   10:06 Diperbarui: 12 Mei 2020   16:00 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi perempuan bercadar. (sumber: pixabay.com/moshypelusha)

"Tirai yang dipakai Ani akan menyelamatkannya dari lidah api dan belati yang kedatangannya tak terduga. Di balik tirai dia akan menjadi manusia merdeka yang bebas menentukan apa saja yang harus dilakukan tanpa kritikan."

Angin bertiup pelan di ujung siang yang kerontang. Menghampiri sesosok tubuh perempuan di sudut ruang berdinding biru pucat. Di mata perempuan itu tergenang air yang menjerit ingin lepas dari perangkap lara. 

Kelihatannya perangkap itu bersarang di hatinya sendiri. Dia tak pernah tahu siapa yang telah memasangnya. Kadang dia mencurigai pelakunya adalah Embun, anak perempuannya. 

Anak satu-satunya yang semasa kecil menjadi kebanggaannya karena memberikan banyak piala dari berbagai lomba yang diikutinya. Menyanyi, menggambar, modeling, berenang dan bahkan qiro'ah menjadi upaya pencarian jati diri sebagai anak berprestasi. Rasa bangga yang disematkan oleh manusia melambungkan kepercayaan dirinya lantaran puja-puji.

Nama Embun diberikan dengan harapan kelak bisa menyejukkan hati siapa saja yang berada di dekatnya. Harapan yang begitu indah saat itu namun tidak bisa terpenuhi sekarang.

Di hadapan teman-temannya dia memang seorang gadis yang lembut. Tutur katanya indah tertata hingga sanggup membuai siapa saja yang mendengarnya. 

Perilakunya pun santun dan lembut sesuai tuntunan etika. Sungguh bertolak belakang bila berhadapan dengan Ibunya. Kata-kata yang terucap dari mulutnya tiba-tiba berubah menjadi lidah api yang siap melalap Ibunya sendiri.

Bahkan ada kalanya kata-kata itu terangkai menjadi belati yang berkilat-kilat siap hendak menyayat permukaan hingga terluka dan berdarah. Pemandangan yang begitu disukai sehari-hari adalah goresan luka sayatan yang ditimbulkan oleh ucapannya.

Tadi pagi Embun memberondong Ibunya dengan kata-kata yang menjelma menjadi belati mengiris hati. Barangkali belati itu masih tertancap di hati Ibunya hingga kini. Berulangkali itu terjadi dan tak pernah mengganggu pikirannya sedikit pun.

Dia masih mampu menghadirkan belati-belati lain yang lebih mengkilat. Pastilah sangat tajam. Jika digoreskan pada kulit manusia akan meninggalkan sayatan luka yang sempurna perihnya.

"Semakin tua semakin banyak bicara dan semakin sering marah-marah. Mengacalah kamu akan melihat dirimu semakin buruk rupa!" ujar Embun dengan lidah api menjulur-julur dari mulutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun