Perjalanan mereka terkesan terburu-buru karena semua pengawal di belakangnya memacu kudanya cepat-cepat. Mereka seolah  ikut merasakan kesedihan  Ratunya. Segera tiba di istana akan lebih baik buat Ratu Kalinyamat dan Suami. Namun perjalanan dihadang oleh sekawanan perampok yang menghentikan mereka di tengah hutan.Â
Perkelahian sengit terjadi di antara pengawal dan  lima orang perampok berwajah sangar. Tubuh perampok rata-rata tinggi besar sehingga membuat para pengawal terdesak. Melihat itu  Pangeran Hadhiri segera turun dari kereta bermaksud membantu para pengawalnya namun dengan sigap seorang perampok brewok berambut gimbal menusukkan pedang di lambungnya. Darah mengucur dari lambung Pangeran Hadhiri membuat Sang Ratu menjerit kencang lalu tergopoh-gopoh turun dari kereta. Perampok lari secepat kilat ketika para pengawal mencoba mengejarnya.
Rombongan itu memacu laju kudanya sekencang-kencangnya agar Pangeran Hadhiri segera mendapatkan pertolongan. Wajah Ratu Kalinyamat pias oleh kekhawatiran yang dalam. Begitu pula wajah Pangeran Hadhiri yang menahan pedihnya luka. Sambil mencoba memegang wajah istrinya hanya  rintihan lirih yang ke luar dari mulutnya. Ketika melewati sebuah sungai, Ratu Kalinyamat memerintahkan rombongan berhenti.
Sais kereta kuda memapah Pangeran Hadhiri ke luar dari kereta lalu membaringkan di tepi sungai. Darah masih mengalir meskipun sekuat tenaga telapak tangan Pangeran menekannya. Kucuran darahnya menetes bersamaan dengan tetesan air mata Ratu yang tak kuasa menahan pilu dan amarah.Â
Tetesan darah itu menuruni pinggiran sungai hingga pelan-pelan menetes ke air sungai yang seketika berwarna ungu. Tanpa disadari oleh semua yang ada di situ, bagian air sungai yang berubah ungu menjadi semakin luas sementara Pangeran Hadhiri semakin pias lalu detak jantungnya menghilang.Â
Teriakan berbaur rintihan pilu dan amarah membahana di sekeliling sungai. Ratu Kalinyamat memeluk kuat-kuat  tubuh suaminya kemudian  menciumi wajah rupawan Pangeran Hadhiri.  Semua pengawalnya tertunduk dengan wajah diliputi duka. Tak ada kata yang terucap di antara mereka. Sekuat tenaga pula mereka menahan air mata namun beberapa di antaranya tak kuasa hingga air bening itu berleleran pula membasahi pipinya.
"Kita pulang, Kanjeng Ratu," Sais kereta memberikan usulan meskipun kesedihan tak jua beranjak dari wajah ayu Ratu Kalinyamat.
Tanpa suara  Ratu Kalinyamat melepaskan pelukannya dari tubuh suaminya. Membiarkan Sais kereta dan seorang pengawalnya mengangkat tubuh yang tak lagi bernyawa itu. Beberapa langkah di belakangnya nampak dua orang pengawal menyelesaikan tandu yang dibuat dengan memangkas pohon-pohon yang mengitari sungai. Tubuh Pangeran Hadhiri direbahkan di atas tandu panjang menyerupai dipan disangga empat orang.
 "Aku akan naik kuda saja," Ratu Kalinyamat berkata kepada Sais kereta.
 "Jangan Kanjeng Ratu. Biarlah empat kuda itu ditarik  pengawal lainnya," Sais berusaha mencegahnya.
"Kita sudah dekat, sebentar lagi akan sampai. Biarkan aku bisa lebih lama memandang wajah Pangeran Hadhiri karena setelah ini dia tidak lagi bersama kita."