Serangan terhadap TVone baik di Jakarta dan Yokyakarta sebenarnya membuktikan bahwa berita dan informasi tidak harus dijawab dengan anarki, jalan anarki bisa-bisa membuahkan sangkaan baru bagi publik. Ada jalan hukum yang harus ditempuh, masing-masing pihak punya kuasa hukum yang diandalkan untuk itu, kecuali gak punya duit membayarnya yah.. terpaksa buka rekening baru.
Di satu sisi ada pihak yang dirugikan terus menerus namun tidak sampai harus melakukan penyerbuan dan bertindak anarkis, bahkan mereka cenderung mendiamkan atau memaafkan seakan-akan mereka sudah tahu akan menjadi bulan-bulanan pihak lain yang tidak senang dan selalu menyebarkan kebencian.
Perhatikan beberapa opini dan kejadian beberapa hari terkahir ini yang dibawa 'adem' salah satu kubu :
1. Duber AS sekonyong-konyong menjelang hari-H Pilpres 2014 meminta pemerintah mengklarifikasi peran Prabowo pada Mei 98;
2. Adik Ahok bernama Fify Lety Tjahaja Purnama bahwa kampanye hitam terhadap Prabowo Subianto sangat marak di dalam lingkungan gereja dengan isu utama bahwa Prabowo sangat anti kepada minoritas.
3. Romo Magnis mengatakan mengenai kondisi Indonesia pasca pemilu, jika Jokowi gagal menjadi Capres RI, yaitu akan ada terjadi kerusuhan hebat melanda Indonesia;
4. Surat Romo Magnis ke Prabowo yang provokatif;
5. Kantor DPD PKS Krawang diserang orang tak dikenal;
6. Provokasi fitnah berkedok wawancara Prabowo oleh jurnalis asing bayaran;
7. ‘Saya tahu juga kan kalau mereka main-main, ayo kita main-main. Kalau menang, kami libas nanti. Gitu saja, simple-kan’ kata Luhut Panjaitan terkait peran BIN;
8. Wimar Witular menyamakan tokoh-tokoh dan organisasi Muslim sama dengan orang-orang yang dituduh teroris;
9. Yenny Kwok jurnalis yang mencoba mengadu domba Prabowo dan keluarga Gus Dur;
10. Play victim yang mengkambinghitamkan pihak lain, akhirnya ketahuan sendiri bohongnya;
Memasuki minggu tenang menunggu tanggal pemilihan 9 Juli atau sesudahnya adanya dugaan berbagai pihak akan kemungkinan ‘chaos’ mungkin saja terjadi memperhatikan prakondisi dengan lontaran-lontaran opini dan pandangan yang menduga akan terjadinya kondisi tersebut diatas.
Nah, untuk menghindarkan persoalan baru yang lebih runyam, kalaulah informasi ini benar sebaiknya publik tahu, bahwa berdasarkan keterangan Munarman yang diperoleh dari orang dalam MetroTV sebagaimana dikutip dari situs voa-islam (link dibawah) disinyalir ada upaya FPI gadungan/palsu yang akan berbuat anarki ke MetroTV dengan membawa nama organisasi masa berbasis umat Islam tersebut. MetroTV sudah bersiaga meliput FPI palsu dimaksud dan aksi ini akan ‘digoreng’ kemudian. Memang sebaiknya hal ini segera dilapor ke Bawaslu dan pihak keamanan untuk mencegah bila info benar. karena hal ini tentu saja akan berakibat citra buruk umat Islam dan kubu Prabowo. Selama ini MetroTV dikenal sangat provokatif dan merugikan satu kubu.
Disamping itu ada pula hal-hal yang menambah kekhawatiran, yakni satu hari lalu ada informasi yang dilontarkan Hendropriyono (hanya dimuat oleh Tempo) bahwa otak kampanye hitam sudah diketahui keberadaannya, di daerah Ragunan tepatnya. Informasi ini cukup provokatif karena menyebut tempat keberadaan yang dimaksud tidak jauh jaraknya dengan kantor DPP Gerindra. Ini maksudnya opo..?, kenapa tidak dilapor saja ke Bawaslu atau pihak keamanan, bukan melempar isu yang sengaja tidak disengaja akan dapat memancing kericuhan?.
Lalu baru beberapa jam lalu ada berita di Kompas, Tribun (satu grup) belakangan muncul di Tempo seakan sudah siaga 1 dengan info yang sama memuat informasi ricuhnya pemungutan suara di TPS Hongkong, yang mengkhawatirkan juga informasi ini berasal dari satu orang saja yang tingkat subjektifitasnya sangat tinggi karena menyebut-nyebut satu pasangan capres saja. Yang lebih mencurigakan juga, informasi ini adalah sumber foto berita yang menampilkan gambar pemilih yang adem-adem saja berasal dari salah satu anggota kubu timses capres yang sangat diragukan integritasnya (AN). Kalaupun belakangan menjelang sahur pagi ini muncul video keributan di youtube sangat mengherankan ketiga media provokatif ini tidak melakukan konfirmasi dan verifikasi sebagaimana harusnya, paling tidak ke pihak penyelenggara atau keamanan Hongkong misalnya. Apa karena kekurangan biaya dan ongkos online?.
Sebaiknya media dan pihak pendukung tidak meletakkan segalanya sebagai ‘tuhan’ sehingga segala cara ditempuh, hal ini berdampak pada kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan atau merugikan publik.
Atau hal ini memang disengaja?, kita harapkan tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H