A. Ulama bukan Sekedar Muballigh
Banyak yang mahir berceramah di masjid, mushala, aula atau lapangan dan dihadiri berbagai kalangan usia, mulai dari kalangan anak-anak hingga orangtua. Pengajian ini dilakukan biasanya pada momen-momen tertentu, seperti isra` mi`raj, maulid Nabi, penyembutan tahun baru hijriyah, penyambutan bulan suci ramadhan, kemudian ada kultum setiap malam ramadhan.Â
Pada momen ramadhan seperti ini banyak muballigh bermunculan, apalagi setiap malam bulan ramadhan ribuan muballigh di setiap daerah diturunkan oleh beberapa lembaga dakwah, akan tetapi muballigh-muballigh tersebut tentu belum tentu semuanya ulama. Namun apakah salah muballigh yang belum ulama menyempaikan pengajian?Â
Jawabannya tidak salah, karena Rasulullah Saw saja menyuruh menyampaikan dakwah itu meskipun satu ayat. Maka muballigh yang belum sampai pada tingkat ulama juga perlu terus bersemangat memberikan dakwahnya agar syi`ar agama Islam ini tetap berkembang baik di kota-kota maupun di kampung-kampung.
Namun muballigh untuk sampai pada tingkatan yang disebut ulama perlu perjuangan besar, karena penguasaan ilmu agamanya mesti kokoh, konsisten dalam berpendapat, kredibel, dan bisa jadi panutan bagi ummat.Â
Maka tidak semua orang yang menguasai ilmu agama layak disebut alim atau ulama. Sebab predikat alim ulama itu dilekatkan kepada orang yang menguasai ilmu agama secara mendalam dan secara sosial layak menjadi panutan masyarakat. Ia dinilai kredibel dan konsisten dalam mengamalkan mengejarkan ilmu agama tersebut.
Biasanya pada tahap muballigh yang bukan ulama biasa hanya berceramah pada waktu-waktu tertentu saja, tidak membuka kajian rutin di tempatnya, tidak punya silabus yang jelas untuk jamaahnya, bahkan tidak menguasai ilmu alat (qawa`id), tentu tidak bisa membaca kitab gundul.Â
Berbeda pada tahap yang disebut alim ulama tentu ia  menguasai tata bahasa Arab (qawa`id), sehingga bisa  membaca kitab gundul sebagai sumber ilmu agama Islam yang akan ia sampaikan ke jamaah atau murid-muridnya, serta istiqomah membuat kelompok pengajian di rumahnya atau di masjid yang ia bina, sehingga jamaah banyak berdatangan menimba ilmu kepadanya, bertanya, dan mendiskusikan ilmu agama di tempat tersebut. Kemudian sekali-kali ia tetap keluar mengisi pengajian di tempat lain.
Jadi ulama itu konsesten dan taat mengamalkan ilmu agama dan mengajarkannya kepada murid-muridnya, jika malas membimbing jamaahnya tidak serta merta menggugurkan gelar keulamaan. Mungkin hanya akan kurang berkah saja, atau ulama itu akan kehilangan marwahnya di mata umat. Dan itulah hukuman sosial paling berat bagi seorang ulama.Â
Oleh karena itu, menjadi ulama berat, tentu keutamaannya juga sungguh luar biasa pula. Untuk menjadi ulama tentu bukan proses sehari dua malam, dengan mantra sim salabim, tentu mempertahankan marwahnya mesti dengan ketabahan dan kesabaran pula.
Perlu juga diketahui bahwa dalam sejarah Indonesia, ulama memang umumnya muncul dari pesantren. Itu soal spesialisasi saja. Analoginya, lulusan jrusan ekonomi diasumsikan akan menjadi ekonom, jebolan jurusan sosiologi cenderung akan menjadi sosiolog. Sedangkan lulusan Psikologi menjadi psikolog, lulusan bimbingan konseling menjadi konselor, dan lain-lain. Namun semua gelar dan asumsi yang berat dalam kehidupan masyakarat Islam adalah ulama.Â