[caption id="attachment_379418" align="aligncenter" width="600" caption="Mendagri Tjahjo Kumolo (Foto: Puspen Kemendagri)"][/caption]
Di sela-sela penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) saat ini, banyak pihak kembali teringat akan Presiden RI pertama, Soekarno atau Bung Karno. Tak terkecuali bagi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo.
Melalui sebuah pesan singkat, Senin (20/4) malam, politisi senior PDI Perjuangan ini pun menyapa awak media dengan menuliskan sebuah cuplikan pidato Bung Karno berjudul ‘Let The New Asian and African Born! (Biarkan Lahir Asia dan Afrika Baru Lahir!)’.
Menteri Tjahjo menulis, berkatalah Bung Karno dengan suara menggelegar:
“... Kita acapkali berkata, 'Kolonialisme telah Mati.' Jangan sampai kita terpengaruh atau terperangah oleh pernyataan itu.
Saya tegaskan kepada Saudara-saudara, kolonialisme belumlah mati.
Mana mungkin kita katakan kolonialisme telah mati pada saat berbagai kawasan di Asia dan Afrika belum terbebaskan? Dan, saya minta kepada Anda jangan pernah berpikir bahwa kolonialisme hanya seperti bentuknya yang lama, bentuk yang kita semua dari Indonesia dan kawan-kawan dari kawasan lain di Asia dan Afrika sudah mengenalinya.
Kolonialisme juga telah berganti baju yang modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen kecil terasing dari dalam suatu negeri. Elemen itu jauh lebih cakap dan bisa menjadi musuh yang paling menentukan, serta mampu menampilkan dirinya ke dalam berbagai kedok.
Mereka tidak mudah menyerah. Dimanapun, kapanpun, dan dengan cara apapun mereka akan muncul, kolonialisme adalah jahanam dan karenanya harus dienyahkan dari muka bumi!”
“Mari kita lihat betapa kritis, visioner dan 'profetis' ucapan Bung Karno. Apa yang disinyalirnya kini menjadi kenyataan yang telanjang,” tulis Menteri Tjahjo.
Menteri Tjahjo pun menguraikan, neokolonialisme dalam bentuk penguasaan ekonomi dan berbagai sumber daya alam oleh korporasi multinasional menggerus negeri ini. Indonesia merdeka secara politis, tapi dalam berbagai aspek lain dibekap dalam belenggu hegemoni asing.
Dari perspektif keamanan nasional (national security) misalnya, mungkin belum ada 'factual threats', ancaman nyata dari negara asing secara militer. Namun, dengan model ‘Perang Generasi Keempat’, Indonesia sudah disusupi ‘kekuatan asing’ tidak berupa tank, rudal dan armada laut, melainkan dalam banjir produk asing, dominasi ‘multinasional corporations’, dan ‘proxy war’.
Itu sebabnya, Indonesia sungguh butuh para pemimpin yang mencintai NKRI dengan segenap jiwa-raga dan ‘cinta’ itu diaktualisasikan dalam keberanian mengambil sikap dan kebijakan yang ‘menghidupkan’ Trisakti, berdaulat secara politis, ‘berdikari’ di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
KAA yang sedang digelar di Jakarta dan Bandung, seyogianya mendorong lagi kesetaraan dalam interelasi antar bangsa, menegaskan kesamaan martabat dan hak setiap bangsa untuk memajukan negaranya dengan cara (termasuk berdemokrasi) yang sesuai kondisi, postur dan potensinya.
Selamat berkonferensi para pemimpin Asia-Afrika untuk kemajuan dan kesetaraan antar bangsa. Semoga… (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H