Ilustrasi Reformasi Birokrasi (Gambar: Istimewa)
SEJAK disahkan menjadi Undang-Undang (UU) pada 15 Januari 2014 pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hingga kini Peraturan Pemerintah (PP) terkait penjabaran atau pelaksanaan dari UU Aparatur Sipil Negara (ASN) tak juga kunjung diterbitkan. Padahal, kebutuhan terkait keberadaan PP ini sangatlah mendesak dalam rangka menjalankan amanah UU ASN secara utuh dan konsekwen. Tanpa adanya PP ini, tentu saja upaya mewujudkan semangat reformasi birokrasi melalui penataan manajemen ASN atau yang selama ini disebut sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) bakal tak berjalan optimal.
Sebut saja dalam hal pengisian jabatan pimpinan tinggi di Kementerian/Lembaga yang ramai diperbicangkan akhir-akhir ini, baik itu jabatan pimpinan tinggi utama (setara eselon Ia), jabatan pimpinan tinggi madya (setara eselon Ia dan Ib), maupun jabatan pimpinan tinggi pratama (setara eselon II). Saat ini, teknis pengisian jabatan pimpinan tinggi Kementerian/Lembaga hanya berpedoman pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Apratur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 13 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Secara Terbuka di Lingkungan Instansi Pemerintah.
Tanpa adanya PP sebagai aturan pelaksanaan dari UU ASN, tentu saja substansi materi yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) tersebut tak sempurna. Di sisi lain, ketidakhadiran PP sebagai penjabaran UU ASN membuat sejumlah Kementerian/Lembaga merasa kebingungan dalam menentukan langkah ketika hendak melakukan proses rotasi, mutasi, maupun pengisian jabatan yang lowong di instansinya. Sementara di sisi lain, Pasal 139 UU ASN juga menyatakan, pada saat Undang-Undang ini (UU ASN) mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3890) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Kini, dampak dari tiadanya PP tersebut mulai terasa. Apalagi, saat ini Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) telah dilantik. Lembaga pengawas dan Pembina profesi ASN ini pun tentu turut terkena dampaknya, tak dapat bekerja secara optimal karena belum memiliki pedoman kerja dan tugas yang tegas.
Dalam berita berjudul “KASN Peringatkan 4 K/L yang Tak Laksanakan Seleksi Terbuka” yang dilansir www.menpan.go.id pada 21 Januari 2015, tertulis Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) memanggil empat Kementerian/Lembaga untuk dimintai keterangan mengenai proses pengisian jabatan pimpinan tinggi (eselon I dan II) di instansi tersebut yang diduga tidak sesuai dengan ketentuan UU ASN, yakni dilakukan seleksi secara terbuka atau yang sudah akrab disebut sebagai lelang jabatan. Keempat Kementerian/Lembaga itu adalah Kementerian Perhubungan, Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Koordinator Perekonomian dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Namun, tetap saja KASN tak dapat memberikan putusan sanksi yang tegas terkait proses rekrutmen yang diduga tak dilakukan secara terbuka tersebut. Anggota KASN Tasdik Kinanto,hanya mengatakan kesalahan yang terjadi di Kementerian/Lembaga itu lebih bersifat administratif semata.
“Kalau saat ini mungkin kami lebih bersifat mengingatkan dan memperbaiki kesalahannya, tetapi setelah ini semua harus mengikuti ketentuan UU tentang ASN. Pengisian jabatan pimpinan tinggi harus dilakukan secara terbuka,” kata Tasdik Kinanto.
Ketiadaan PP terkait penjabaran pelaksanaan UU ASN juga membuat bingung Kementerian/Lembaga yang hendak melakukan rotasi atau pemindahan pejabat demi kepentingan dinas dan dalam rangka memperluas pengalaman dan kemampuan pejabat terkait. Pasalnya, Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 13 Tahun 2002 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 telah mengatur persoalan rotasi atau pemindahan pejabat tersebut.
Kondisi ini setidaknya dialami oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). Pada 24 Februari 2015, Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perpindahan Dari/Dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama dan Jabatan Administrator di Lingkungan BIG. Pelantikan pejabat pun telah dilakukan pada 25 Februari 2015.
Perpindahan Dari/Dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama dan Jabatan Administrator di Lingkungan BIG tersebut didasarkan pada pengaturan yang ada pada Bab VIII “manajemen ASN” dalam hal ini Pasal 53, dimana pimpinan lembaga di lembaga pemerintah nonkementerian menerimapendelegasian kewenangan untuk “pemindahan” selain pejabat pimpinan tinggi utama dan madya. “Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan ASN dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat selain pejabat pimpinan tinggi utama dan madya, dan pejabat fungsional keahlian utama kepadamenteri di kementerian, pimpinan lembaga di lembaga pemerintah nonkementerian, sekretaris jenderal di sekretariat lembaga negara dan lembaga nonstruktural, gubernur di provinsi, dan bupati/walikota di kabupaten/kota.”
Sedangkan Pasal 68 ayat (4) mengisyaratkan bahwa setiap PNS dapat berpindah antar dan antara Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi, dan Jabatan Fungsional di Instansi Pusat. “PNS dapat berpindah antar dan antara Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi, dan Jabatan Fungsional di Instansi Pusat dan Instansi Daerah berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan penilaian kinerja”.
Pada prinsipnya, berdasarkan Pasal 73 ayat (1) Setiap PNS dapat dimutasi tugas dan/atau lokasi dalam satu Instansi Pusat. “Setiap PNS dapat dimutasi tugas dan/atau lokasi dalam 1 (satu) Instansi Pusat, antar-Instansi Pusat, 1 (satu) Instansi Daerah, antar-Instansi Daerah, antar-Instansi Pusat dan Instansi Daerah, dan ke perwakilan Negara Kesatuan Republik Indonesia di luar negeri.”
Kepala BIG dalam rangka Perpindahan Dari/Dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama dan Jabatan Administrator di Lingkungan BIG tidak mendasarkan pada pengaturan yang ada pada Bab IX “Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi”, pun tidak berdasarkan Pasal 108 ayat (3) yang menyebutkan, “Pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan jabatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama berarti ada lowongan terlebih dahulu jabatan itu.
Kepala BIG juga tidak sedang mengganti Pejabat Pimpinan Tinggi selama 2 (dua) tahun terhitung sejak pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi, seperti diatur dalam Pasal 116 ayat (1) yang berbunyi, “Pejabat Pembina Kepegawaian dilarang mengganti Pejabat Pimpinan Tinggi selama 2 (dua) tahun terhitung sejak pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi, kecuali Pejabat Pimpinan Tinggi tersebut melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak lagi memenuhi syarat jabatan yang ditentukan.” Walaupun rumusan “terhitung sejak pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi” harusnya ditafsirkan “terhitung sejak yang bersangkutan itu dilantik sebagaiPejabat Pimpinan Tinggi Pratama”, dan bukan “sejak yang bersangkutan itu dilantik sebagai Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama yang terakhir.
Lebih rinci dari ketentuan Pasal 116 ayat (1) bahwa yang dilarang adalah “mengganti pejabat pimpinan tinggi yang kurang dari 2 (dua) tahun sejak pelantikan sebagai pejabat pimpinan tinggi pratama bukan sejak pelantikan sebagai pejabat pimpinan tinggi pratama “yang terakhir”. Dengan demikian dihitungnya 2 (dua) tahun sejak pelantikan sebagai pejabat pimpinan tinggi pratama.
Saat pelantikan yang berlangsung di Aula Utama BIG ini, Kepala BIG Priyadi Kardono mengatakan, pelantikan ini tidak lain merupakan proses pemindahan dari satu jabatan ke jabatan lainnya atau disebut juga proses rotasi atau “tour of duty”. Hal ini juga dimungkinkan (Pasal 68 ayat 4 UU ASN) yang menyatakan, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dapat berpindah antar dan antara Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi, dan Jabatan Fungsional di Instansi Pusat.
“Dalam melakukan rotasi pejabat, saya sudah memikirkan betul-betul kapasitas dan profesionalisme pejabat yang saya tunjuk. Saya juga sudah meminta masukan dari Sekretaris Utama dan para Deputi di BIG,” tegas Kepala BIG.
Namun entah mengapa, Pada 25 Maret 2015, KASN mengeluarkan rekomendasi terkait terbitnya SK Kepala BIG Nomor 9 Tahun 2015 tersebut, seperti tertulis dalam sebuah tulisan berjudul “Membangkang Terhadap Rekomendasi KASN, Ada Apa Dengan BIG???” yang dilansir di kompasiana.com, 15 April 2015, yang ditulis oleh Hendra Kusumo. Salah satu rekomendasi KASN adalah meminta Kepala BIG melakukan rotasi ulang melalui proses seleksi terbuka sesuai dengan tata cara pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi yang telah diatur dengan Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 13 Tahun 2014. Sedangkan Kepala BIG tidak sedang mengisi jabatan yang lowong.
Jika benar, maka rekomendasi ini adalah sebuah rekomendasi yang membingungkan karena permasalahan teknis rotasi atau pemindahan pejabat sesungguhnya turut diatur dalam UU ASN namun belum dijabarkan secara lebih lanjut aturan teknisnya oleh PP yang seharusnya segera diterbitkan pasca disahkannya UU ASN. Di sisi lain, rekomendasi KASN ini tentu juga berbeda dengan sikap lembaga pengawas manajemen ASN itu ketika menyikapi persoalan pengisian jabatan pimpinan tinggi di empat kementerian/lembaga yang telah diuraikan penulis di atas.
Secara tidak langsung, persoalan yang terjadi di Kementerian Perhubungan, Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Koordinator Perekonomian, Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan Badan Informasi Geospasial (BIG) terkait dengan manajemen dan penataan PNS masing-masing lembaga, mengindikasikan KASN tampaknya berjalan tanpa arah yang jelas, hanya mengikuti ‘suasana hati dan kebatinan’ dalam menjalankan tugasnya, sehingga melahirkan rekomendasi yang beraneka warna. Sekali lagi, kondisi ini tentu sangat dimungkinkan terjadi karena belum adanya pedoman teknis yang jelas yang dapat menjadi pegangan bagi KASN dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam mengawasi manajemen ASN atau PNS sejak dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 27 November 2014 tersebut. Oleh sebab itu, guna menghindari munculnya berbagai polemik baru, demi efektivitas pelaksanaan semangat reformasi birokrasi seperti diamanahkan UU ASN, serta demi efektifnya kerja-kerja KASN mendatang, tidak ada kata lain, pemerintah harus segera menerbitkan sejumlah PP yang telah ditetapkan sebagai penjabaran teknis UU ASN ke depan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H