Mohon tunggu...
AYE Pramana
AYE Pramana Mohon Tunggu... Dosen - Urban Scholar, Lecturer, Football Lover

Pemerhati masalah perkotaan (belum pantas menyebut diri sebagai Urban Planner), dosen PTS di Jogja, Pecinta Sepakbola (bukan pemain sepakbola)

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Derby Mataram: Perang di Tribun Lebih Seru

30 April 2014   21:19 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:00 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Gaungnya memang tak sebesar Persib versus Persija atau Persebaya versus Arema memang. Namun partai “derby Mataram” antara PSS Sleman melawan PSIM Yogyakarta selalu meninggalkan cerita. Memasuki dekade 2000-an, PSS dan PSIM senatiasa terlibat dalam persaingan sengit, terutama antar suporternya. Dulu pada tahun 2002 hingga 2003, tampak tidak ada masalah antara suporter PSS dan PSIM. Buktinya, PSS Sleman dapat dengan tenang menghuni Stadion Mandala Krida, bahkan sempat bergati nama menjadi PSS Yogyakarta. Artinya, dulu PSS pernah menjadi kebanggaan masyarakat DIY pada umumnya. Begitu pula PSIM, yang sudah sejak jaman pra kemerdekaan menjadi representasi masyarakat Kasultanan Ngayogyakarta dalam kancah persepakbolaan nasional. Namun, ketika keduanya berdiri sejajar sebagai kekuatan sepakbola di kancah nasional, persaingan antar keduanya tak dapat dielakkan. Memang ada satu klub lagi asal DIY, Persiba Bantul, yang sebenarnya punya track record lebih mentereng. Namun soal urusan derby, PSS dan PSIM selalu menyajikan atmosfer yang lebih panas.

Begitu pun dengan laga derby Mataram yang dihelat hari Selasa (29/4) kemarin. Sebelumnya suasana antara suporter PSIM dan PSS sudah agak “dingin”. Maklum, terakhir kali keduanya bertemu pada awal tahun 2011, ketika dualisme liga belum terjadi. Apalagi, selama dua musim belakangan, baik PSIM maupun PSS memiliki “musuh bersama”, yakni Persis Solo dan Pasoepati-nya. Maka yang saya bayangkan, pertandingan derby kemarin akan menjadi pertandingan derby paling adem ayem sepanjang sejarah pertemuan kedua tim. Namun kenyataan sebaliknya yang terjadi.

Kondisi pertandingan di atas lapangan sendiri tidak terlalu menarik untuk dibahas. Banyak peluang yang disia-siakan oleh para pemain depan PSS Sleman, termasuk ketika striker Monieaga sudah dua kali berhadapan dengan lubang yang menganga di lini belakang PSIM. Pun ketika sepakan bebas Aldemund yang melengkung indah ke gawang PSIM digagalkan oleh tiang gawang. PSIM, terlepas dari isu yang menyebutkan bahwa mereka sudah benar-benar kehabisan nafas untuk menyelesaikan kompetisi, bermain dengan penuh semangat. Dengan skuad yang didominasi pemain hasil kompetisi internal, PSIM mampu mengimbangi PSS yang banyak diperkuat pemain berpengalaman. Alhasil, skor kacamata menjadi penutup laga derby Mataram. Hasil ini tentunya menyisakan PR besar bagi coach Sartono Anwar karena sejak away ke Madiun, lini depan PSS Sleman kering dengan gol.

Sepanjang 2x45 menit pandangan saya lebih banyak tersita ke arah tribun merah, tempat di mana ribuan suporter PSIM berhasil menembus blokade larangan kunjungan suporter PSIM ke Stadion Maguwoharjo. Beberapa kali mereka terlibat bentrok dengan suporter tuan rumah. Pada pertengahan babak pertama, para suporter PSIM terlibat bentrok dengan Slemania yang berada di tribun hijau. Pagar pembatas antara tribun merah dan hijau nyaris dirobohkan oleh para suporter PSIM, sebelum aparat keamanan ala India (begitu saya sebut karena mereka sering kali terlambat melakukan antisipasi) berhasil mengendalikan kondisi. Bentrokan besar kedua terjadi pada penghujung babak kedua. Tensi yang memanas di penghujung laga membuat para suporter PSIM menghujani pemain di lapangan dengan botol dan pecahan tegel. Dua kali pula flare dilemparkan oleh para suporter PSIM ke tengah lapangan. Hal tersebut memantik reaksi dari suporter PSS, BCS,  yang ada di tribun kuning. Bentrokan dan saling lempar tak dapat dihindarkan. Padahal sebelumnya, BCS dan para suporter PSIM tampak adem ayem saja. Keduanya bahkan sempat terlibat dalam Mexican Wave yang dibuat pada saat jeda pertandingan. Selepas pertandingan usai pun situasi masih memanas. Saya memilih cepat-cepat meninggalkan stadion. Menurut keterangan dari Bung Helmy Nawan, seusai pertandingan para suporter PSIM keluar sambil melempari stadion. Mungkin mobil saya yang kebetulan terparkir di lapangan parkir sebelah timur bisa jadi sasaran amuk massa juga jika tidak cepat-cepat keluar dari stadion.

Well, terlepas dari semua ketegangan yang terjadi, saya hanya bisa tersenyum dan merasa miris di dalam hati. Agak heran juga, dua daerah yang batas wilayahnya saja tidak tampak jelas justru memiliki riwayat konflik yang tajam hanya gara-gara perbedaan warna kaos, satu biru, satunya lagi hijau. Mungkin mereka-mereka yang kemarin terlibat tawuran itu adalah rekan satu sekolah, namun di stadion mereka menjadi rival yang saling menghancurkan. Secara budaya dan strata kelas sebenarnya kedua kelompok suporter ini hampir sama. Sungguh kontras misalnya dengan suporter Olympiakos dan Panathinaikos, atau AS Roma dan Lazio yang memang benar-benar terpisahkan kelas sosial yang sangat jauh. Dalam keseharian pun tidak ada perbedaan yang mencolok antara orang Jogja dan orang Sleman, wong orang  Sleman juga menyebut dirinya orang Jogja. Dalam sepakbola pun sebenarnya nyaris tidak ada batas antara PSS dan PSIM. Keduanya dengan bebas saling bertukar pemain. Bukan hal yang haram juga Sleman Fans menginjakkan kaki di Stadion Mandala Krida yang menjadi markas PSIM (dan saya pun sering melakukannya, waktu 8 besar Divisi Utama tahun 2012 dan kemarin saat PSIM meladeni PSBI di kandang saya hadir di Mandala Krida). Begitu pula sebaliknya, karena saya lihat ada beberapa penonton di tribun Maguwoharjo juga familier dengan tribun Mandala Krida.

Mungkin inilah menariknya partai derby. Sesungguhnya saya lebih berharap atmosfer yang panas itu adalah atmosfer di atas lapangan, bukan duel antar suporter di tribun apalagi sekedar perang di media sosial. Harapannya setelah ini pertarungan yang kemarin tidak lagi berlanjut. Peluit panjang sudah ditiupkan oleh wasit dan pertandingan sudah usai. Tak perlu lagi ada twitwar atau perang opini di media sosial. Toh bagi saya kemarin kalian-kalian yang terlibat tawuran Cuma berani adu gertak dan Cuma berani lempar batu sembunyi tangan. Bagi suporter PSIM tak perlu menantang “nek wani teko nang Mandala (kalau berani datang ke Mandala Krida)” karena seharusnya kalian merasa senang jika ada suporter tamu yang datang ke stadion kalian dan memberi pemasukan bagi keuangan tim yang masih kembang kempis. Bagi suporter PSS tak perlu menanggapi tantangan. Jauh lebih penting untuk “meneror” punggawa PSS agar lebih garang di depan gawang lawan daripada sekedar adu garang, di dunia maya pula.

Menyang pasar tuku ketan, menyang mulih metu wetan

Isih podo-podo Rajane Sultan, sing podo akur rasah gelutan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun