2013, sepertinya menjadi momentum bagi dunia kesehatan Indonesia untuk segera berubah memasuki 2014. Segunung masalah di dunia kesehatan Indonesia masih banyak yang belum terselesaikan, seperti tumpukan baju di rumah saya yang belum disetrika. Maklum dikumpulin dulu baru disetrika setiap seminggu sekali. Begitu juga masalah dunia kesehatan di Indonesia, kacaunya program Kartu Jakarta Sehat pas saat diluncurkan oleh Jokowi, masalah Jampersal (Jaminan Persalinan) yang bertentangan dengan programnya BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional), terus kalau mau jujur nih Jaminan Kesehatan Masyarakat juga belum beres, kok hutang ke rumah sakit bisa mendekati 2 triliun rupiah sampai saat opini ini ditulis juga belum jelas juntrungannya. Nih pengelola program beruntung aja bukan sasaran media, media hanya mempermasalahkan pelayanan rumah sakit. Hutang pemerintah ke rumah sakit? Yah apes aja lah rumah sakit yang dapat pemberitaan jelek. Tetap semangat yah jangan putus asa rumah sakit - rumah sakit di Indonesia..... tapi rumah sakit tetap harus memperbaiki pelayanan jangan masalah hutang pemerintah dibuat jadi alasan untuk tidak bebenah.
Nanti 2014 kita memasuki era BPJS, jujur saja seberapa banyak sih masyarakat Indonesia yang mengerti masalah Badan Pelaksana Jaminan Sosial Kesehatan?
Nah sialnya lagi nih tahun 2013 ada berita kasus pidana yang menimpa tiga orang dokter. Pasti di antara para pembaca ada yang kurang berkenan kalau saya membela mereka. Yah gak apa-apa. Sebenarnya saya justru heran dengan sikap Mahkamah Agung, kok praktek dokter bisa diberi hukuman pidana. Apalagi keputusannya lebih memberatkan pada masalah pelayanan Prosedur Operasional Standar atau Standard Operational Procedure (SOP).
Ini tautan berita alasan MA menghukum para dokter:
Alasan pertama Majelis Hakim MA adalah para dokter tidak memperhatikan medical record dari Puskesmas. Sanggahannya mudah saja, kalau itu pasien datang sudah dalam keadaan gawat terus gak dilayani dan gak dilakukan tindakan medis oleh para dokter yang tidak memiliki izin praktek di Rumah Sakit Umum Pusat Prof. Dr. Kandou di Sulawesi Utara, lalu si pasien kemudian meninggal karena dibiarkan. Apakah pengadilan bisa memastikan mereka tidak dihukum, logikanya kan mereka tidak melakukan tindakan. Ya mereka masih bisa kena pasal hukuman oleh pengadilan, kenapa tidak melayani si pasien sudah tahu mereka perlu tindakan penanganan kegawatdaruratan. Para pembaca yang pernah berpikir kesalahan para dokter ini pidana terus menghujat dengan ejekan kepada para dokter yah cepat-cepat insyaf deh daripada kena pengadilan akherat.
Melihat kasus ini diantara dokter juga ada polemik namun tetap harus diperhatikan secara baik, mungkin tautan ini bisa sedikit membantu www.make.my/kjn8rebfbt9 dalam hal ini kita harus memakai kacamata kondisi daerah setempat jangan pakai kacamata Ibukota DKI Jakarta yang megah dan mewah. Untuk melakukan tindakan operasi sesar kebidanan sesuai SOP dan SPM memerlukan waktu lebih panjang dan biaya lebih mahal, apalagi di daerah. Kesiapan daerahnya melaksanakan SOP dan SPM belum tentu siap, juga masyarakatnya.
Seandainya kita memakai logika para hakim, wajar dong para dokter enggan melakukan tindakan medis takutnya nanti diberi hukuman sama MA, iiiiih ngeri ah. Lalu yang terjadi tuh banyak pasien gak usah dalam kondisi gawat deh, kalau memerlukan tindakan yah dirujuk sajalah ke rumah sakit yang lain, rumah sakit tersebut ngeri juga, kemudian dirujuk lagi ke RSUPN Cipto Mangunkumo, di perjalanan si pasien meninggal karena dalam proses perjalanannya menjadi kritis, terus keputusan MA bagaimana? Coba dicermati dan dihayati yah para hakim MA.
Pertimbangan yang kedua, masalah pemalsuan tanda tangan dipersalahkan oleh Hakim Agung. Okelah katakan si dokter Hendy melakukan pemalsuan tanda tangan pasien. Harusnya kan yang dijadikan dasar, sebenarny ini tugasnya siapa sih? Dokter? Dokter lgi-doktger lagi yang bertugas, memangnya mereka Ganesha dengan 8 tangan. Terus pegawai administrasi rumah sakit bagaimana? Perawat yang membantu persalinannya bagaimana? Kasihan kan dokternya sudah disuruh melakukan tindakan sesar, disuruh kejar-kejar pasien atau keluarga pasien untuk minta tanda tangan.
Terus lagi nih pembaca, apakah memang dokternya sudah mengakui perbuatannya? Tapi sekali lagi kondisi si pasien saat itu kita harus ingat almarhumah saat itu sudah dalam keadaan gawat.
Kesalahan ketiga, para dokter itu melakukan kelalaian yang menyebabkan udara masuk ke dalam bilik kanan jantung pasien bernama Siska. Hal itu menghambat aliran darah yang masuk ke paru-paru hingga terjadi kegagalan fungsi jantung. Lalu berefek domino, hal itu mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.
Dalam dakwaannya, jaksa menjabarkan, sebelum melakukan operasi, dokter tidak melakukan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan jantung danfoto rontgen dada. Padahal, sebelum dibius, tekanan darah Siska tergolong tinggi, yaitu mencapai 160/70. Hal ini banyak dibantah oleh ahli kesehatan di Inodnesia, coba lihat lagi artikel www.make.my/kjn8rebfbt9, resiko medis bukan malpraktik. Jadi sudah saatnya profesi dokter dilindungi oleh Undang-Undang yang lebih baik lagi, dan Hakim dari Pengadilan Negeri sampai tingkat MA harus memperhatikan UU tersebut.
Contohnya begini, teman-teman wartawan sudah pernah dan bahkan kerap dipenjara karena tulisannya mengganggu pemerintah di masa lalu, mereka dipidanakan karena profesinya menulis berita, apakah layak profesi wartawan tersebut dipidanakan. Yah kalau memang wartawannya salah diajukan kasus perdata saja, suruh bayar kompensasi yang mahal.
Di negara yang sudah maju demokrasinya sering terjadi masalah hukum antara pers dengan pihak yang diberitakan, namun pengajuannya adalah ganti rugi materiil bukan penghukuman secara pidana.
Nah, kalau masalah izin praktek yang menghukum itu media massa dan masyarakat umum, para dokter ini adalah residen dan sudah mendapat izin dari konsultan mereka, di sini beritanya www.make.my/xfcxdtv5cdi.
Padahal kalau melihat keputusan MA, hal ini justru menjadi alasan yang meringakan hukuman. Yah media massa yang memberitakan juga harus introspeksi loh. Pada saat kejadian mereka sedang menempuh pendidikan dan sudah mendapat restu dari konsultan mereka. Ini kan jadi tanggung jawab Rumah Sakit dan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, makanya menjadi bagian yang meringankan. Seandainya menjadi bagian hukuman yang memberatkan, lalu pihak RS dan FK Unsrat kok tidak termasuk bagian yang dituntut oleh jaksa, aneh juga kan? Atau sudah masuk tapi hakimnya menilai lain yah bisa saja. Namun harusnya hakim bisa saja memutuskan batal demi hukum untuk masalah ini.
Pasal 359 KUHP yang dijadikan dasar hukuman harus mensyaratkan “unsur karena salahnya menyebabkan matinya orang”. Dari sudut pandang sebagian besar ahli kedokteran di Indonesia ini kasus dr Ayu dkk adalah resiko medis bukan kesalahan praktek, namun Hakim memiliki hak untuk memvonis.
Dengan mengutip adagium hukum yang sering kita dengar bersama, walau tidak pernah diterapkan secara konsisten, yaitu Azas Indubio Proreo yang artinya “Lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Semoga para hakim agung untuk kasus Ayu sudah memperhatikan azas ini.
Dalam sebuah wawancara tertulis yang ditayangkan laman kompas.com, www.make.my/3l91qaj1yvi, Manager akademik dan kemahasiswaan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Pradana Soewondo yang juga Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam FKUI menjelaskan, dokter residen merupakan sebutan untuk peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) di Indonesia.
Dalam tahap residen, kata dia, dokter masih merupakan bagian dari proses pendidikan, meskipun sudah memiliki peran besar dalam memberikan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, dokter residen perlu memperoleh supervisi secara bertingkat oleh dokter spesialis konsultan di RS pendidikan.
"Dokter spesialis konsultan adalah dokter penanggung jawab pasien (DPJP) sehingga seluruh tanggung jawab termasuk tanggung jawab hukum akan berada di tangan RS dan DPJP," terangnya.
Kalau mau ditelusuri lagi yah ini kan kebijakan dari pemerintah untuk mencetak banyak dokter spesialis dan bagian tuntutan Millenium Development Goal’s. So, beberapa Rumah Sakit di daerah segera dijadikan rumah sakit pendidikan, para pembaca sebagian tentu tidak terlalu mengerti, saya pun demikian. Tapi intinya rumah sakit tersebut sudah mendapatkan izin dari Kementerian Kesehatan untuk mencetak tenaga dokter spesialis yang handal, ini tanggung jawab pemerintah.
Dalam hal ini para pembaca yang budiman dan terbiasa tinggal di perkotaan coba rasakan bertempat tinggal di sebuah kabupaten di luar Pulau Jawa. Bahkan di Kalimantan Selatan ada seorang dokter spesialis anak yang harus bertugas menerima pasien dari 3 kabupaten di sekitarnya. Jadi membaca beritanya juga harus dari sudut pandang tempat kejadian, bagaimana sarana dan prasarana di sana, juga sudut pandang waktu kejadian atau zeitgeist.
Terlepas dari polemik itu semua, dunia kesehatan Indonesia memang harus segera berbenah, begitupun dunia pendidikan Ilmu Kedokteran. Dari kasus ini harusnya masyarakat mengajukan resolusi permasalahan agar tidak berlarut dan menenangkan semua pihak.
1.Materi kuliah Hukum dan Etika harus menjadi mata kuliah wajib di Fakultas Kedokteran seluruh Indonesia.
2.Tindakan profesi dokter memang harus terhindari dari jerat hukum pidana, kecuali ditemukan unsur kesengajaan.
3.Izin pendirian Fakultas Kedokteran di beberapa daerah harus dipertimbangkan kembali secara masak-masak oleh pihak Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan Nasional
4.Persyaratan dokter yang ingin melanjutkan program spesialis selayaknya diperbaiki, misalnya harus pernah bekerja minimal 2 tahun sebagai dokter umum diterangkan oleh tempatnya bekerja. Atau bisa juga sudah melayani sekitar 2000 pasien yang bisa dibuktikan dengan laporan ke Ikatan Dokter Indonesia, ini membandingkan pada program pendidikan penerbang yang harus menjalani sekian jam terbang untuk mendapatkan lisensi penerbang komersial.
5.Sarana dan Prasarana Rumah Sakit di Daerah harus segera diperbaiki kalau perlu menggunakan dana khusus perimbangan pusat agar daerah segera memiliki standar rumah sakit pelayanan yang ditentukan pihak Kemkes.
6.Pemerintah harus memberikan jaminan asuransi praktek bagi seluruh dokter di bawah naungan Kementerian Kesehatan, jadi apabila mereka menghadapi tuntutan perdata serta dicabut izin prakteknya mereka memiliki jaminan masa depan.
7.Jangan lupa untuk meningkatkan insentif dokter spesialis di daerah, lha wong untuk guru saja bisa masa untuk kesehatan gak bisa?
8.Sosialisasi pelayanan kepada masyarakat harus ditingkatkan.
9.Kompetensi Kepala Puskesmas dan Kepala Rumah Sakit Negeri/Swasta harus memiliki sertifikasi standar nasional untuk pelayanan kesehatan nasional. Jangan hanya sekedar dilihat dari status dokter atau bukan juga jangan sekedar dilihat dari status kepangkatan PNS. Mereka harus mendapatkan insentif khusus dan pelatihan khusus pengelolaan pelayanan kesehatan masyarakat.
Mungkin para pembaca yang budiman memiliki usulan lain dalam resolusi di atas?
Tulisan ini juga bukan untuk menuding dan menyalahkan pihak keluarga yang sudah kehilangan atas peristiwa tersebut, namun menjadi introspeksi bangsa Inodnesia dan momentum agar memasuki tahun 2014 dunia kesehatan di Indonesia bisa membaik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H