Masih terkait perjalanan saya pada Rural Professional Experience - Placement Program di Victoria, saya akan membahas, bagaimana cara yang dilakukan sekolah di daerah pinggiran untuk mengatasi keterbatasan sumber daya.
Tidak semua sekolah memiliki cukup siswa. Sebuah sekolah yang saya kunjungi hanya memiliki 64 siswa dari kelas preschool sampai kelas 6. Membuat 7 kelas kecil mungkin tampak menjadi solusi yang terbaik, karena semakin kecil kelas, semakin besar guru bisa membantu siswa berkembang. Namun ini bukan solusi yang baik secara finansial. Sebagai solusinya, sekolah dengan keterbatasan siswa, menggabungkan kelas yang ada. Kelas Preschool digabung dengan kelas 1, kelas 2,3,dan 4 di gabung, dan kelas 5 dan 6 dijadikan satu. Sehingga, sekolah hanya cukup membayar 3 orang guru pengajar inti. Guru lain, seperti guru musik atau mata pelajaran yang membutuhkan keahlian khusus, cukup dipanggil seminggu sekali, sebagai part-time teacher.
Ada beberapa keuntungan lain selain efisiensi finansial, siswa juga diajarkan untuk mandiri dan mengembangkan cooperative dan colaborativelearning.Â
Pada saat kelas berlangsung, siswa dibagi menjadi group dengan kemampuan beragam (mix-ability group). Mereka ditempatkan dalam kelompok-kelompok kecil yang disebut 'pockets', kantong. Guru akan menuliskan dan menjelaskan tugas, target belajar, dan ekspektasi dari setiap kelompok. Semisal, pada kelompok preschool-kelas 1, dengan menggunakan bahan bacaan yang sama, kelompok A bertugas mencari kata-kata sulit. Kelompok B memahami bacaan, kelompok C menulis karangan sejenis, dan kelompok D menggambar sesuai dengan isi bacaan. Guru akan berkeliling, memastikan setiap kelompok bekerja sesuai dengan job-des yang sudah ditetapkan. Saat satu kelompok selesai dengan tugasnya terlebih dahulu, mereka akan mengerjakan tugas lainnya, sehingga diakhir pembelajaran, setiap kelompok akan menyelesaikan ke-4 tugas yang telah dibagikan. Bisa saja guru menggunakan tugas yang sama untuk semua kelompok, namun hal ini akan membuat siswa untuk tidak fokus bekerja pada kelompoknya. Siswa juga dilatih untuk menghargai kelompok lain. Mereka akan berdiskusi, bekerja sesuai LKS yang diberikan, namun tidak membuat kegaduhan yang tidak perlu. Dengan demikian, hal ini akan melatih siswa untuk bekerja tanpa supervisi. Diakhir pembelajaran, guru dapat memimpin diskusi kelas untuk mengkonfirmasi kerja yang dicapai.
Kelompok kecil ini bukan saja terdiri dari siswa dengan berbagai kemampuan, namun juga dari mix-grade, kelas yang berbeda. Dalam satu kelompok bisa terdiri dari 2 kelas preschool dan 2 kelas 1. Siswa kelas 1 akan mengayomi siswa kelas pre-school. Hal ini akan membentuk sikap tanggung jawab sebagai role model. Siswa pre-school akan belajar tentang budaya sekolah dan cara belajar dari kakak kelas dalam kelompoknya. Memang, guru harus menyediakan lebih banyak ragam LKS, namun saat kegiatan berlangsung, kepuasan dari melihat siswa sibuk dengan tanggung jawab masing-masing setimpal dengan investasi waktu yang guru berikan diawal pembelajaran. Selain itu, siswa juga dilatih untuk bekerjasama didalam kelompok. Karena diakhir pembelajaran terdapat presentasi, kelompok harus memilih salah satu wakil, saat seorang siswa sudah terlalu sering tampil, guru bisa menyarankan siswa lain, sehingga setiap siswa memiliki kesempatan untuk berlatih public speaking.
Saya tidak membahas ini untuk kegiatan kelas tinggu, seperti SMP atau SMA, karena saya yakin pendekatan ini akan lebih mudah dilakukan pada siswa kelas tinggi. Yang saya tekankan adalah pada pembentukan karakter mandiri, bekerja sama, dan bertanggung jawab sejak dini. Saya sempat bertanya pada kepala sekolah yang menerapkan sistem ini, beliau hanya tersenyum dan berkata bahwa jika guru percaya, anak bisa menjadi luar biasa.Â
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah saya, sebagai guru percaya siswa bisa? Lupakan apa yang tidak bisa mereka lakukan, fokuskan pada banyak hal yang bisa mereka kembangkan, niscaya kelas kita akan penuh keajaiban.Â
Sekolah adalah tempat untuk menemukan bakat baru, mengembangkan bakat lama, meningkatkan ketrampilan, bukan merenungi kegagalan dan bersedih atas kemunduran.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H