Kemajuan ekonomi Kota Semarang telah menyebabkan kerusakan lingkungan, kemacetan lalu lintas, peningkatan pengangguran dan sektor informal, kriminalitas, dan berbagai konflik sosial politik lainnya. Studi ini menemukan bahwa Kota Semarang tengah mengalami urbanisasi berlebihan, yang berarti tidak seimbang antara pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonominya. Kota ini memiliki penduduk yang berasal dari berbagai suku, bangsa, budaya, dan bahasa. Urbanisasi adalah ketika banyak orang dari masyarakat pedesaan pindah ke kota untuk mencari pekerjaan yang lebih baik.
Namun, orang-orang yang tinggal di kota tidak selalu sukses dalam pekerjaannya. Banyak di antara mereka hanya pekerja kecil atau pegawai rendah. Karena perlu membangun infrastruktur dan layanan sosial untuk masyarakat, ini bukanlah sumber pendapatan daerah tetapi beban anggaran daerah. Selain itu, kendala arus urbanisasi ini menyebabkan populasi Kota Semarang meningkat..
Data menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kota Semarang terus meningkat selama lima tahun terakhir, dengan jumlah tahun 2010 sebesar 1.527.433 jiwa, tahun 2011 sebesar 1.544.358 jiwa, tahun 2012 sebesar 1.559.198 jiwa, tahun 2013 sebesar 1.572.105 jiwa, dan tahun 2014 sebesar 1.584.906 jiwa. Garis kemiskinan Kota Semarang terus meningkat, dengan jumlah tahun 2012 sebesar 297.848 jiwa, tahun 2013 sebesar 328.271 jiwa, dan tahun 2014 sebesar 1.584.906 jiwa.
Laju pertumbuhan penduduk yang pesat di Kota Semarang pasti akan menyebabkan banyak masalah perkotaan seperti kemacetan dan kesemrawutan kota, kemiskinan, peningkatan tingkat kriminalitas, munculnya pemukiman kumuh atau daerah slum, terutama pada lahan kosong seperti jalur hijau di sepanjang bantaran sungai, bantaran rel kereta api, taman-taman kota, dan di bawah jalan layang. Karena itu, urbanisasi dianggap sebagai faktor yang menentukan bagaimana sebuah kota dapat berkembang secara fisik dan sosial. Akibatnya, bentuk atau pengertian urbanisasi dapat didefinisikan dengan lebih baik karena dampak yang ditimbulkannya terhadap kehidupan masyarakat kota.
Dampak deindustrialisasi, di mana tingkat urbanisasi tidak diimbangi oleh tingkat industrialisasi, telah menyebabkan deindustrialisasi kota Semarang saat ini. Bahkan, daya tampung sosial dan daya dukung lingkungan telah menurun karena kepadatan penduduk kota Semarang. Dalam ujian terbuka promosi doktor bidang prodi Ilmu Kependudukan Sekolah Pascasarjana UGM yang diadakan pada Sabtu (19/11) di ruang auditorium Fakultas Geografi, Ir. Saratri Wilonoyudho, M.Si.
Saratri menyatakan dalam disertasinya yang berjudul "Determinan dan Dampak Urbanisasi Berlebih di Kota Semarang" bahwa kota semarang mengalami kecenderungan urbanisasi dengan pola menyebar, yang ditandai dengan pertumbuhan penduduk perkotaan yang signifikan di kabupaten-kabupaten di sekitar kota. Peran sektor industri dan pertanian di Kota Semarang tampaknya menurun karena kerusakan lingkungan, kemacetan lalu lintas, dan tingginya angka kejahatan. Sebaliknya, sektor informal semakin meningkat.
"Urbanisasi di kota semarang justru memunculkan gejala involusi kota yakni terus meningkatnya jumlah pekerja di sektor informal dengan produtivitas rendah, sebagaimana ditunjukkan pada PDRB (produk domestik regional bruto) sektor industri di kota semarang yang relatif kecil dibandingkan PDRB di sektor jasa atau perdagangan," katanya. Dia menyebutkan, arus migrasi masuk ke kota semarang dilihat dari kelompok umur 25-29 sampai 35-39 baik laki-laki maupun perempuan telah terjadi kenaikan yang cukup tajam. Tahun 1997, kelompok umur 25-29 jumlah penduduk laki---laki sekitar 56.409 dan penduduk perempuan 57.827, sepuluh tahun kemudian atau tahun 2007, jumlahnya melonjak tajam, yakni masing-masing 78.093 untuk laki-laki dan 77.228 untuk perempuan. Sebagian besar bekerja disektor informal atau jasa sebesar 81,9%. Dan hanya 18,09 % yang bekerja di sektor industri.
Dia menyatakan bahwa dampak urbanisasi berlebihan menyebabkan pemerintah kota Semarang mengalami beban anggaran yang berlebihan karena harus membiayai infrastruktur dan pelayanan sosial ekonomi dengan biaya tinggi yang tidak sebanding dengan produktivitas sebagian besar penduduknya yang bekerja di sektor informal. Namun demikian, dia menambahkan bahwa kota Semarang masih memiliki peluang untuk menata ulang perencanaan kota karena kota tidak terlalu padat seperti Jakarta karena ruang terbuka yang cukup luas. Dia mengatakan bahwa kebijakan untuk mengurangi arus migrasi harus dilakukan secara menyeluruh baik di tingkat nasional dan regional, serta di tingkat pedesaan dan perkotaan..
Menurutnya, kebijakan pembangunan pusat-pusat industri yang padat modal harus ditinjau kembali, karena industri kecil dan menengah yang berbasis pertanian harus dibangun untuk memenuhi kebutuhan petani dan buruh tani. Tuntutan ini dikemukakan karena hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penghasilannya sangat kecil bagi buruh tani, petani, dan pekerja tidak terampil. Untuk memperjelas hirarkhi kota, strategi pemanfaatan kota harus difokuskan untuk menghindari dominasi kota Semarang terhadap daerah di belakangnya yang tersebar, yang diharapkan dapat menyebarkan hasil pembangunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H