CAT HAR IWEDDUDUL : “TERIMA KASIH ILA” Iweddudul, 10 Juni 2011 Ila, gadis hitam, ceking, dengan aksen Madura kental, mengiringi hari-hari penat saya selepas bekerja di kantor seharian. Dialah orang pertama yang meringankan beban saya, calon partner yang akan menemani, melengkapi kekurangan saya sebagai ibu rumah tangga, karena saya adalah perempuan bekerja. Ila datang, saat sudah lebih dari 1 bulan, saya harus pontang panting mengatur jadwal rumah, sekolah anak-anak, dan kantor yang hampir semua saya lakukan sendiri tanpa bantuan partner. Kelelahan membuat saya mulai khawatir dan mencari patner ini dengan berbagai cara. Salah satunya lewat seorang makelar pembantu perempuan yang kebetulan menjadi langganan ibu-ibu kompleks perumahan saya. Dia sangat membantu ibu-ibu itu ketika partner kerja mereka di rumah mendadak pulang kampung karena alasan, ibunya sakit, bapaknya sakit, neneknya meninggal, pamannya meninggal, dia menikah, atau menikah lagi (hihii), atau juga karena di PHK majikan, bcoz of “desperate” alias tidak bisa bayar pembantu, yang sekarang gajinya sudah diatas UMR (hehehehe). Ila adalah sosok mungil yang kemudian di tawarkan pada saya, datang nyaris tanpa alternative yang lain, mengingat begitu sulitnya mencari partner di saat mendesak dan dibutuhkan. Semua karena sosoknya yang mungil, hitam dan dekil…saya menahan nafas hampir 15 menit ketika dia datang ke rumah untuk pertama kalinya. Dan ini menjadi hal pertama yang saya pertimbangkan ketika akan menerimanya. Belum lagi aksen Madura kental yang kadang membuat saya bengong setiap bicara dengannya “Jaka sembung bawa golok boooo!” hahaha. Jadi ketika memutuskan “Yes, I agree to accept You” itu adalah keputusan yang sangat terpaksaaaa (a-nya banyak banget deh pokoknya) hahaha Hari pertama mempekerjakannya sudah membuat saya “bête”. Bayangkan saya tidur paling malam di atas jam 12, dia sudah tidur jam 7 malam (bo abooo), kemudian saya bangun pagi jam 5 dia baru bangun jam 07.30 WIB….hari itu ingin rasanya saya mengomel tapi saya tahan dengan satu kekuatan kata “Sabar…sabar …sabar” ( saya masih sangat membutuhkan seorang patner untuk meringankan tugas saya sekalipun bantuannya hanya untuk merebus air hehe). Rentetan peristiwa menjengkelkanpun terus bergulir seiring keberadaannya. Salah satunya ketika saya baru saja pulang dari kantor dan menjemput anak saya yang saya titipkan di penitipan anak, sekalian belanja kebutuhan rumah hingga pulang larut lepas magrib. Begitu penatnya saya sampai saya harus menyeret tas kerja saya. Hingga….. Si Ila tergopoh-gopoh mendekati saya sambil masih mengenakan rukuh dan dengan logat Madura kental dia mengadu pada saya “Buk…buk, spedanya ilang, baru saya taruh sebentar saya tinggal mandi, makan dan bersih-bersih rumah (tuhkan itu bukan sebentar namanya tapi lama ILaaa aaaaa arggghhhh).” Saya termangu, sungut sudah naik di atas kepala, ingin rasanya saya menyantap Ila hari itu. Tapi , kata saya kemudian dengan lemah “ Ila, dimana kamu taruh sepeda itu?” “Di Ragasi bu” katanya dengan cepat memakai logat Madura kental. “Apa ?” “Iya saya taruh di Ragasi Bu” Saya makin takjub dengan kata-katanya ………… “Ya, Allah Ya Rabb…” “Iya Bu, di Ragasi, seperti biasa” Duh,perbedaan bahasa ternyata membuat bentangan luas dalam sistem komunikasi kami, saya menatap Ila dalam-dalam, sambil melihatnya terus meneriakkan kata-kata Ragasi…Ragasi…Ragasi.. Tak sabar saya membentaknya…. “GARAASSIIII Ila…..Garasi” Dia terkikik kecil menyadari kesalahannya, sambil kemudian dia berkata “Amaap bu” (terj: maap Bu!). Grrrh…hari itu juga saya menyuruh Ila memanggil satpam kompleks, saya ingin tahu bagaimana pertanggung jawaban keamanan hingga di kompleks yang sudah memakai “One Gate System” masih bisa kecolongan, dengan tergopoh dengan masih memakai mukena Ila menuju pos satpam memanggil satpam, 15 menit kemudian “security” kompleks datang. Saya mulai memberondongnya dengan cerita kejadian hingga beberapa pertanyaan sampai akhirnya. “Lha Bu, sepedanya di bawa Bimo (anak sulung saya), dari tadi siang sepulang sekolah keliling kompleks kemudian ke masjid dengan teman-temannya sembahyang, katanya Bimo saya tanya sudah pamit mbak Ila”. Hedeh….habis sudah kesabaran saya, mata saya membulat siap menelan Ila bulat-bulat, Ila ketakutan, pucat pasi…dan hanya keluar empat kata dari mulutnya “Amaap Buk, saya lupa!” Berikutnya ketika saya sudah mulai di ambang batas kesabaran, Mama menelpon, saya mulai curhat soal si Ila ini dari A sampai Z, hingga kemudian Mama memberikan solusi. Suatu hari Mama datang dari Jakarta dengan 2 orang calon partner saya yang baru. Kedua partner ini langsung mengambil simpati saya, komunikasipun terjalin normal karena kami memiliki kesamaan persepsi, sama-sama orang Jawa. Hmmm, yang jadi permasalahan sekarang, tidak mungkin saya mempekerjakan 3 orang patner kerja dalam satu rumah, bukan?. Maka sayapun mulai mencari cara untuk bisa memberhentikan Ila tanpa melukai perasaannya, tapi dengan cara apa????............(hiks jahat banget deh) (“”) Ila rupanya mulai menyadari dan tertekan dengan kehadiran patner baru itu, diam-diam saya merasa Iba. Ila berusaha menyesuaikan keberadaan 2 partner saya itu, dia mulai mengamati cara bekerja kedua patner itu, hingga mulai berusaha belajar bahasa Jawa, diam-diam saya melihat Ila sering lama mengamati pembicaraan dua patner bekerja itu. Kemudian dengan rajin mencatat di beberapa lembar bekas tagihan belanjaan kaki lima yang sering saya “pesenin” belanjaan. Biasanya si Ila bangun jam 7 pagi kini jauh subuh dia sudah bangun, membuatkan saya secangkir teh, membangunkan saya Sholat subuh, sampai membersihkan kamar, membawakan tas menuju mobil ketika saya berangkat, hingga menyiapkan keperluan sekolah anak-anak tanpa saya minta. Saya cukup heran dengan perubahannya yang drastis sampai kemudian, saat saya memanggilnya karena suatu keperluan “Mbak Ilaaaa!” Ila menjawab dengan bahasa yang membuat saya tertegun “Dalem Ibu?” (terj: apa Ibu?), dalam bahasa Jawa halus lagi santun. Terharu…tentu saja. Rupanya selama ini saya kurang menyelami Ila, Ila memang sangat lugu, susah di ajak komunikasi, sedikit bebal, dan juga kasar karena kulturnya beda dengan saya. Tapi ternyata dia MAU BELAJAR. Semakin hari Ila semakin berusaha, menunjukan kemampuannya, hingga suatu saat. Seorang Partner yang iri melihat perkembangan Ila, memfitnah dia mengatakan bahwa Ila kerjanya hanya tidur, bermalas-malasan, lihat TV dan tidak mau menemani “Adik Kresno” (anak bungsu saya). Saya mulai bimbang, mulai sedikit demi sedikit mempercayai apa yang dia katakan, karena saya tidak berada di rumah hampir 1 hari dari pagi hingga sore, dan yang berada di rumah adalah ketiga partner saya itu saja. Ditambah gencarnya fitnah yang terus di “cekok”kan pada saya. Hingga ada yang melalui sms oleh seorang partner muda sebaya Ila yang memang terlihat membenci Ila, melalui HPnya dia menyebarkan beberapa hal buruk tentang Ila. Hingga saya mulai termakan omongan. Saya mulai kembali membenci Ila, menekan dia dengan pekerjaan sedemikian rupa, agar dia tidak kerasan di rumah, tapi Ila sedemikian tabah dia diam dan menerima perlakuan saya. Sampai suatu hari, dihari yang panas, saya bergegas menuju rumah karena ada beberapa berkas kantor yang tertinggal, saya melihat seseorang di pagar, seorang pemudi dan pemuda yang tengah berasyik-masyuk bahkan tidak sungkan berangkulan, hingga berciuman mesra, saat itu saya terkesiap ketika menoleh ternyata itu adalah Siti, partner kerja sebaya Ila yang dari beberapa hari lalu sibuk menjelek-jelekkan Ila. Sedang saya lihat Ila terlihat kusut di dalam rumah sibuk mengepel setiap sudut ruangan rumah. “Allahu Akbar!” Pemandangan kontras, membawa saya pada perasaan bersalah dan ingin menangis rasanya atas ketololan saya, hari itu juga saya memanggil Siti bersama laki-laki yang tiba-tiba mau lari ketika melihat saya, tapi dengan sekali bentakan laki-laki itu “keder” akhirnya kembali dan memilih menurut ketika saya ajak ke dalam rumah. Hari itu juga tanpa basa basi, saya suruh Ila memanggil Satpam kompleks, memberitahu runtutan kejadian kemudian menyuruh Siti pulang dan Pak Satpam saya suruh mengawal sampai desa, dan pemuda itu saya suruh mengawasi satpam agar tidak berkeliaran lagi di kompleks ini. Hari-hari berikutnya kembali saya lalui bersama Ila dan Partner kerja yang satu lagi. Cerita lainpun bergulir, ketika pada siang yang terik saya ingin memasak es buah kesukaan anak-anak, dan ternyata kami kehabisan gula, maka saya menugaskan Ila membeli gula di warung, ternyata Ila tidak bilang kalau warung tutup di siang hari, akhirnya Ila membeli gula jauh di Supermarket yang jaraknya hampir 3 KM, lama saya tunggu es buah saya sudah hampir matang, tapi Ila tak kunjung datang sampai. Saya dengar bunyi sepedanya memasuki Garasi, Ila terseok-seok menemui saya di dapur, saya sedikit heran kemudian meraih bungkusan “kresek” yang di sodorkan pada saya dan berisi gula, dengan tergesa Saya membuka bungkusan, tapi saya terkejut di dalam bungkusan itu ada gula putih yang telah bercampur pasir. Kontan saya marah, saya membentak Ila, dengan kasar. Jengkel mengingat bagaimana saya bisa membuat Es buah yang enak jika tidak ada gula, jikapun ada gula tersebut telah bercampur dengan pasir. Ila ketakutan dengan pelan dia berkata “Buk, saya tade terjatuh”. Sejenak saya terdiam, “ Lalu” kata saya kemudian. Ila mulai berkata terbata “Tadi warung tutup, saya pergi ke permarket (terj:supermarket), tapi saya di “tubruk” speda motor, dan gulanya jatoh, tadi sudah saya coba kumpulkan, campur pasir ” Deg ………….”Ya Allah” hati saya menjerit, saya lihat Ila, tanpa air mata, penuh ketabahan menceritakan kejadian. Dengan cepat saya rangkul Ila saya bawa dia ke ruang tamu kemudian saya sendiri yang mengobati luka-luka dan memar di kakinya, kata yang keluar dari mulut saya hanya satu “Maaf Ila………..” Selepas hari itu, saya mengurung seluruh emosi dan ketidak sabaran saya dalam-dalam saya mulai belajar menelaah, tentang bagaimana memperlakukan Ila, yaitu dengan MENGENALNYA. Selama ini banyak kejadian kita terlalu naïf memandang sesuatu, semua kita anggap bisa mengikuti apa yang kita mau, apa yang kita inginkan tanpa bisa menyelami bahwa mereka bukan kita, mereka memiliki karakter dan kemampuan berbeda. Selama mengenal Ila kini saya juga belajar bahwa tidak setiap masukan atau aduan seseorang adalah sebuah kebenaran tanpa cek dan ricek maka kita tidak akan tahu di mana letak kebenaran. Banyak orang menebar garam berharap kita menginjak hingga menimbulkan jejak, akibatnya kaki kitapun penuh garam. Artinya dalam kehidupan jika ada puluhan orang menyukai kita maka kita harus siap ada juga puluhan orang yang membenci kita, mereka berdua tarik-menarik ingin membawa kita pada sisinya. Kini saya juga banyak belajar bahwa memahami sebuah persoalan dan juga menentukan kebijakan untuk menghukum seseorang yang kita anggap tidak “becus” dalam sebuah pekerjaan, tidak boleh sembarangan, kita harus lihat duduk persoalaannya kemudian menelaah kebenarannya, untuk melihat seberapa jauhkah dan usaha apa yang dia kerjakan terhadap capaian sebuah pekerjaan hingga hasil yang kita inginkan terpenuhi. Harusnya yang kita hitung adalah nilai terhadap hasil pekerjaannya bukan bagaimana pekerjaan itu terselesaikan. Karena kita tidak bisa mengajarkan tentang moral jika kita hanya melihat dari “ASAL PEKERJAAN SELESAI” tanpa melihat bagaimana susah payahnya seseorang melaksanakan pekerjaan tersebut, kendala-kendalanya di lapangan, serta keterbatasan kemampuan seseorang. Setiap kegagalan, bagi seseorang, butuh orang lain untuk memberikan kesempatan padanya sekali lagi, agar dia bisa belajar dari sebuah kegagalan dan pengalamannya. Maka berikanlah KESEMPATAN dan WAKTU sekali lagi baginya untuk membuktikan dia mampu. Karena saya yakin pengalaman adalah guru terbaik. Dan kebijakan saya terhadap Ila adalah memberinya waktu UNTUK BELAJAR, karena saya yakin dia BISA. Jikapun dia tidak bisa, bukan berarti dia gagal, tapi dia pasti telah banyak melakukan hal-hal terbaik yang dia bisa untuk bisa dikatakan “berhasil”, maka ketekunan itulah yang wajib kita hargai. Toh harus disadari bahwa MANUSIA TIDAK ADA YANG SEMPURNA, Demikian juga hasil yang ingin dicapai seseorang juga tidak akan bisa mulus 100%. Namun bagi Saya, selama dia telah melakukan pekerjaan dan hasilnya hanya 60% saja, maka dia sudah dikatakan BERHASIL…………..karena menuju 60% dia telah mengeluarkan keringat, berkreatifitas sesuai kemampuannya, berupaya sesuai kekuatan, dan saya yakin melakukan yang terbaik yang dia bisa. Akhir kata saya hanya bisa memandang Ila dengan kagum, akan semangat, ketekunan, dan ketabahannya dengan ucapan singkat “TERIMA KASIH ILA” Kau telah berikan saya banyak pelajaran tentang ARTI KEHIDUPAN..yang sekalipun pahit dan berisi cemoohan dari banyak orang walaupun yang kita lakukan adalah untuk niat yang baik. Kita memang harus banyak bersabar dan selalu tabah dalam mengarungi kehidupan. Inshaallah. Amin. “Dalam segala upaya menuju manusia paripurna ya Rabb…aku akan berjuang!” Tambahan : Cerita Ila ini ternyata belum selesai, hari ini baru saya tahu, bahwa uang yang dia bawa untuk membeli gula ÌƬυ hilang di jalan. Jadi dia rela pakai uang pribadinya untuk menukar kehilangan uang yang saya amanahkan kepadanya, sebagai wujud tanggung Jawab. Ila juga tidak pernah memikirkan keselamatannya sendiri demi tanggung jawab terhadap amanah atau pada pekerjaannya. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H