Setahun sudah, Fe, aku memilih pergi. Â 365 hari yang merutuki diri.
Kau pasti ingin tahu bagaimana keadaanku hari ini, bukan? Kau pasti ingin tahu bagaimana rupaku yang dulu pernah amat memujamu? Kau pasti bertanya-tanya, apakah aku melalui hidupku dengan baik? Atau apakah aku bisa menjatuhkan hatiku pada lelaki(Lagi)?
Ah, aku baik-baik saja, Fe. Teramat baik malah. Aku bahagia. Hidupku jauh lebih tenang kini, sebab aku tak perlu lagi mencemaskan kau yang akan menghubungi mantan pacar yang kini menjadi kekasihmu(lagi) tanpa sepengetahuanku; perempuan yang dari bibirnya menyuruhmu untuk memanfaatkanku dulu. Kadang jika kupikir Betapa brengseknya kalian saat itu.
Sudah sembuhkah luka-ku? Belum. Belum, Fe. Sesekali ada masa di mana pada malam-malam tertentu, aku menangisi aku; mengapa begitu lama mengambil keputusan untuk pergi dan berlalu.
Aku bukanperempuan yang mudah membagi isi kepalaku dengan orang lain, Fe. Â Kau tahu itu. Maka ketika aku berbagi, aku juga sedang berbagi sisiku yang separuh sisa. Aku menelanjangi isi kepalaku di hadapanmu, Fe, bahkan tak ada tangis yang tak kau tahu saat itu. Aku menjadikanmu rumah saat kau ternyata hanya menganggapku tempat singgah.
Kau sahabatku, juga musuh terbesarku, Fe. Kau ingat bagaimana kita bertengkar? Kita saling mengeluarkan belati tajam dari mulut kita, saling menyakiti dengan perkataan sampah dan berlomba siapa yang akan duluan menurunkan egonya. Pernah suatu ketika, kau marah sekali padaku, dan memukulkan tanganmu ke kaca di belakangku hingga kaca tersebut pecah dan tanganmu mengeluarkan darah. Saat itu aku tak berkedip atau berteriak histeris. Aku justru tersenyum mengejek ke arahmu. Kau bilang, jika itu perempuan lain, dia pasti sudah kencing di celana melihat amarahmu. Atau di satu waktu lainnya, kita akan mendapati diri kita berada di sebuah tempat berlantai kayu. Musik tahun 90-an mengalun. Â Aroma kopi berhamburan dimana-mana. Â Aku tau kau tidak suka kopi, Fe. Â Kau akan memesan Teh aroma mangga yang menurutku baunya seperti pengharum mobil. Sudut ruangan adalah tempat favorit kita menghabiskan waktu berjam-jam menertawai kebodohan yang kita lakukan.
Kita adalah dua kepala batu yang tak mau mengalah dan mengaku salah. Di matamu, aku adalah perempuan keras kepala yang selalu membantah apa yang kau katakan. Ah tapi bukankah itu salah satu alasan mengapa kau lebih suka berdiskusi denganku?.
Segala tentangmu memang tak pernah benar-benar selesai, Fe. Â Ada banyak kenangan dalam ingatan yang kau tinggalkan. Kecupan di kening serta pelukan terakhirmu di Bandara pukul 5 pagi tepat setahun lalu saja masih terekam jelas dalam kamar pikiran. Entah mengapa, firasatku mengatakan bahwa itu adalah sebuah pelukan perpisahan. Fe, lain kali jika kau menemukan tempat singgah lainnya, jangan pernah meninggalkan sebuah kecupan di kening karena akan meninggalkan ingatan yang bersarang di sana. Perempuan merekam lebih banyak kejadian dalam hidupnya, Fe.
Jangan pernah berniat untuk tinggal jika kemudian pada akhirnya kau tanggal.
Setahun sudah, Fe. 365 hari merutuki diri. Ternyata aku bisa setegar ini. Melanjutkan langkahku tanpa menoleh ke belakang lagi.
Mungkin suatu hari nanti kau akan membaca tulisan ini. Jangan GR dulu, Fe, tulisan ini ku bikin bukan karena aku sedang merindukan kamu. Tulisan ini ada sebagai penghargaan atas diriku sendiri. Ternyata memutuskan pergi darimu tak sesulit yang aku bayangkan. Aku masih bisa tertawa lebar, menikmati hidup, nongkrong bersama kawan-kawanku sekedar menikmati senja atau bahkan menikmati cangkir kopi hitamku. Aku bahkan flirting dengan pria lain. Hidupku bahagia, Fe. Jadi kau tak perlu cemas bahwa aku akan bunuh diri, mengunci di kamar atau yang lainnya, sebab aku tak se-drama kamu, Fe.