Aku pernah menitipkan berjuta doa untuk sebuah hati yang aku yakini adanya. Mencintainya seperti senja yang mencintai bintang, rela luruh demi melihat bintangnya bersinar, bintangku. Bilangan tahun aku berbagi hidup dengannya, menyangganya seperti akar pohon, agar ia kokoh kala sumpah serapah menghantamnya tanpa jeda. Sampai sini kau tau kan kenapa aku menyukai pohon dan ingin ditatoo dengan gambar tersebut?
Lalu semesta mempermainkan aku. Cerita yang kami tulis tak pernah menjadi buku yang kelak bisa kami ceritakan pada para cucu. Kami berdiri pada dua frekuensi cinta yang berbeda. Aku cinta dia dan dia cinta wanitanya yang lama. Aku bisa apa?
Aku, si gadis kecil ayah ini, merutuki dirinya dengan kejam. Mengutuk dirinya mengapa tak sekalian saja semesta mencabut nyawanya. Biar lepas dan impas, sebab ia kini hanya sebuah barang bekas.
Tahukah kamu, aku sudah belajar berdamai dengan takdir, dengan menghadirkanmu dalam fikir. Lihat aja aku yang sekarang. Jangan kau korek bagian aku yang ingin segera kumakamkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H