Mohon tunggu...
Yully Agyl
Yully Agyl Mohon Tunggu... Buruh - Ibu rumah tangga dengan tiga orang anak.

Terlahir dan besar di bumi AREMA

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mengelak Membayar Hutang, Nyawa Anakku Melayang

2 Januari 2017   21:39 Diperbarui: 3 Januari 2017   20:47 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Google"][/caption] Penyesalan selalu datang belakangan. Seperti halnya penyesalan dan rasa bersalahku ini, seolah tiada bisa ditebus dengan apapun.Walau kutahu kematian adalah kuasa Tuhan, namun rasa bersalah ini terus menghantui pikiranku. Ini adalah rahasiaku, yang makin lama tersimpan makin membuat tersiksa, tetapi juga tidak berani mengatakan kepada keluargaku. Hingga akhirnya, kuberanikan bercerita kepada sahabat yang kukenal di dunia maya (si penulis) ini untuk berbagi. Semoga dengan ditulisnya kisahku ini, akan bisa diambil hikmah bagi pembaca. ****Sebut saja namaku Lili, aku terlahir dari keluarga yang serba kecukupan. Warisan kakek nenek kepada orangtua cukup berlimpah. Aku, anak kedua dari empat bersaudara.  Keluargaku, terbiasa hidup penuh kesenangan. Dari segi wajah, aku biasa-biasa saja. Tetapi karena kebiasaan kami selalu ingin jadi orang pertama dalam hal bersenang-senang di kelompok-kelompok kami, di kampung, membuat banyak yang menyukai dan menyegani kami. Singkat cerita, aku dan saudara-saudara telah dewasa dan menikah. Suamiku seorang PNS. Ketika warisan orangtua dibagi rata, tentu saja kami kebagian tidak banyak, seperti waktu orangtua mendapatkan dari kakek nenek. Tetapi, gengsi telah menutupi gaya hidupku. Kelahiran kedua putraku, menambah beban ekonomi semakin berat. Gaji suami dan tunjangan tidak bisa mencukupi. Atas izin suami, aku mulai membuka usaha di pasar kecamatan. Toko snack aneka macam, lumayan ramai juga. Tetapi, dari kehidupan di pasar inilah aku mulai berani mengenal hutang. Yah... siapa yang tidak tahu, di pasar banyak orang menawarkan pinjaman tanpa jaminan dengan cara yang mudah. Dari yang membayar harian, minguan, dua mingguan hingga bulanan tergantung kemampuan peminjam. Walau sebenarnya bunganya sangat tinggi. Semula aku hanya berani berhutang sedikit. Tetapi, karena merasa mampu, makin lama makin banyak. Semua tanpa sepengetahuan suamiku. Ketika suami bertanya, darimana aku bisa membeli barang2 rumah tangga yang baru, selalu kujawab dari laba jualanku yang kutabung. Yang lebih membuat suami percaya, karena ketika ia ikut membantu di pasar pada hari Minggu atau hari libur, hanyalah melihat transaksi jualanku yang ramai. Yah... pastinya tidak ada orang yang menagih, karena mereka di hari Minggu juga libur. Makin lama, aku makin berani berhutang. Bahkan, aku juga meminjam nama teman sesama pedagang untuk mendapatkan pinjaman uang, salah satunya mbak Lastri. Semua hanya berdasar rasa saling percaya. ****Setiap kehidupan ada pasang surutnya. Demikian juga dengan usahaku. Pesaing dagang semakin banyak. Sementara hutangku masih menumpuk. Sedikit demi sedikit, daganganku mulai habis dan tidak mampu membeli barang dagangan. Hutang-hutang atas namaku sendiri masih banyak. Sementara hutang atas nama teman, aku meminta tolong dia melunasi dulu. Hingga akhirnya aku benar-benar bangkrut dan hanya bisa diam di rumah. Walau begitu, aku masih mampu menghindar dari para penagih dengan berbagai alasan. Status suamiku yang punya jabatan, aku jadikan tameng. Demikian juga hutang ke temanku, aku selalu berkelit. Suatu hari, mbak Lastri datang menagih. Aku hanya menerimanya di teras rumah karena ada suami di dalam. Kami bicara secara berbisik-bisik. "Mbak Lili, aku sangat butuh uang itu. Kamu tahu sendiri kan, pasar makin sepi. Aku sudah tolong kamu, jadi tolong kembalikan uangku," katanya memelas. "Iya, nanti. Sekarang aku belum ada," jawabku. "Sampai kapan? Anakku datang kamu tolak, aku datang kamu masih bilang nanti." "Ya, kalau aku sudah punya uang." Lagi-lagi aku hanya berjanji. Ketika mbak Lastri pulang dan suami menanyakan keperluannya, aku dengan enteng menjawab: "Biasa, Pa, cari hutangan. Setiap kali kesini selalu begitu, dikira kita ini bank atau apa ya. Kalau pasar sepi, kenapa gak tutup saja seperti Mama ya, daripada nanggung banyak hutang," kataku berbohong. "Ya mungkin dia ada alasan lain kenapa mesti bertahan,  Ma," jawab suamiku. ****Mungkin kesabaran mbak Lastri sudah mulai luntur, karena hutangku sebanyak 2 juta itu sudah lewat dua tahun tanpa sedikit pun aku cicil. Aku sebenarnya juga tahu, ekonomi mbak Lastri juga tidak baik. Apalagi suaminya tidak memiliki penghasilan tetap. Tetapi entah kenapa aku belum punya keinginan untuk melunasi hutangku. Bahkan juga hutang di sebagian orang lain di pasar. "Mbak, aku dan suami mau ikut program transmigrasi. Aku minta uangku bisa mbak kembalikan secepatnya untuk tambah uang saku kami," pintanya suatu hari. "Maaf, Mbak, aku tidak ada uang kalau secepat itu," sanggahku. "Terus sampai kapan mbak? Kami tidak ada waktu lagi. Dan belum tentu bisa cepat menghubungi mbak." "Ya nantilah, kalau sudah ada," jawabku seenaknya. "Rasanya sabarku sudah habis mbak. Kalau tidak bisa bayar hutang, bilang aja terus terang Mbak Lili. Ya sudah, aku ikhlaskan uang itu untuk sumbang sawur*  kalau sewaktu-waktu ada keluarga mbak yang meninggal," katanya sambil pergi dengan muka kesal. Aku tidak peduli, justru aku merasa terbebas dari satu hutang. Dia tidak mungkin akan akan menagihku lagi, karena pergi transmigrasi. ****Seingatku... belum genap  satu tahun mbak Lastri menagih hutang ketika peristiwa itu terjadi.Anak sulungku pergi untuk selama-lamanya dengan cara yang sangat mengenaskan.Dia tenggelam di kolam renang ketika sedang menikmati liburan. Padahal anakku jago renang. Sungguh aku tidak habis pikir,  bagaimana mungkin anakku bisa meninggal padahal tidak ada yang mencurigakan di area kolam renang itu. Teman-temannya pun juga tidak tahu sebabnya. Yang mereka tahu, tiba-tiba anakku seperti ada yang menarik dari dalam air dengan kekuatan besar, dan tidak sempat diselamatkan. Setiap kali mengingat anakku, setiap kali pula aku merasa bersalah. Aku tidak tahu kemana mencari orang-orang yang pernah kuhutangi, untuk meminta maaf dan ingin berusaha untuk mengembalikan uang-uang mereka. Mbak Lastri pun juga tidak ada kabar. Aku hanya bisa mengungkapan rasa penyesalan itu dihadapan Tuhan. Aku hanya berharap dan berdoa, semoga Tuhan masih memberi kesempatan untuk melunasi hutang, walau aku tahu kesadaran ini sudah terlambat.Aku sungguh menyesal. ****Tamat*** *sawur (bahasa Jawa) : uang sumbangan kematian Inti cerita seperti yang diuraikan nara sumber kepada penulis. Walau nama disamarkan. [caption caption="Chirpstory"]

[/caption] Taiwan, 2 Januari 2017    

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun