Mohon tunggu...
Yull Eko Putra
Yull Eko Putra Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Kuliah di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta (1993-1999) Program Strata 1, Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Hubungan Masyarakat. Bekerja di Lembaga Manajemen FORMASI (2002-sekarang)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menyuarakan Hati Nurani

23 Desember 2013   22:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:33 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai corong hati nurani masyarakatnya, wajar dan seharusnya media bicara. Menulis dan menayangkan kekurangan adalah jati diri cara kerja media. Maka ketika seolah-olah kritik media mendapati pintu terpalang, keadaan itu perlu disikapi secara cerdas. Terus melakukan kritik dengan cara, gaya dan pintu masuk lain. Ketuk terus, ya memang ! Dan, pada saat yang sama, terus mencari kiat yang tepat tanpa melanggar kode etik.

Taruhlah contoh kasus rencana pembangunan gedung baru DPR. DPR bergeming atas kritik masyarakat dan media. DPR bersikukuh melanjutkan pembangunan, entah karena kepalang basah sudah mengucurkan dana, entah sudah melupakan nurani bersih. Perkembangan berikutnya, ketua DPR berikut epilog yang terus bergulir menegaskan perlunya kerja sama media dengan lembaga lain. Media bukan lembaga swadaya masyarakat, sebaliknya dalam merealisasikan suara hati nurani senantiasa perlu partner. Media tak bisa bekerja sendirian.

Beragam jenis peranan media, tetapi rasanya menyuarakan hati nurani merupakan inti peran media. Menerjemahkan peran dalam dunia yang berubah cepat, dalam kondisi jungkir balik perkembangan masyarakat, menuntut keteguhan. Seorang wartawan tidak lagi cukup terampil, tetapi juga punya hati dan lentur dalam meniti buih perkembangan masyarakat.

Figur kewartawanan Rosihan Anwar yang meninggalkan kita boleh disebut sebagai teladan. Teladan ketekunan, kesetiaan pada hati nurani, seorang pekerja otak (kognitariat) yang penuh empati pada persoalan masyarakatnya. Dia mendekati segala persoalan dengan kacamata hati dan jiwa penghargaan manusia dan kemanusiaan.

Ketekunan mencatat data dan persoalan, menyampaikannya kembali dalam bingkai pemaknaan, membuat tulisannya sarat pesan. Ia kembangkan profesi kewartawanannya sebagai panggilan hidup, tak sekadar pekerjaan atau karier.

Memungut contoh kasus matinya nurani DPR dan kepergian wartawan kondang Rosihan Anwar, maksud kita mengangkat kembali peranan strategis profesi jurnalistik. Sengaja tak mengutip kalimat bijak ahli komunikasi, catatan ini hanya mengingatkan kembali pentingnya kerja sama dunia jurnalistik dengan lembaga lain.

Dalam kondisi serba cepat berubah dan serba digital, tetaplah informasi yang terpenting. Informasi menjadi bermakna ketika ditempatkan dengan manusia dan kemanusiaannya sebagi batu penjuru dan batu sendi.

Rosihan Anwar plus-minus tetap menyorongkan keteladanan, tidak saja dalam hal lengkapnya perjalanan hidup sebagai wartawan tiga zaman, tetapi terutama dalam hal memaknai profesi jurnalistik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun