Dari tahun 2019 sampai 2021 Sudan sudah mengalami 2 kali kudeta militer. Secara garis besar awal terjadi kudeta militer di Sudan di dasari oleh kekecewaan militer terhadap pemerintah sebelumnya dalam mengatasi krisis ekonomi yang terjadi di Sudan. Omar Al-Bashir selaku pemimpin yang sudah menjabat 30 tahun diminta untuk bertanggung jawab akibat memburuknya perekonomian yang terjadi di Sudan. Kudeta yang terus menerus dialami negara Sudan memunculkan kekhawatiran terhadap nasib demokrasi yang ada di Sudan.
Sejarah Kudeta Militer di Sudan
Pada tahun 2019 terjadi kudeta yang pertama, pemerintahan Omar Al-Bashir digulingkan dari kekuasaannya oleh militer Sudan. Omar Al-Bashir dalam 30 tahun memerintah dianggap oleh pihak militer dan masyarakat Sudan telah gagal dalam menyelesaikan krisis ekonomi yang terjadi di Sudan. Omar Al-Bashir sempat menolak meninggalkan kekuasaannya dan di sini Omar Al-Bashir mendapat dukungan SAF, RSF, dan sektor militer pendukungnya. Namun, masyarakat dan pihak militer posisi tidak mundur selama berbulan-bulan dan tetap menginginkan Omar Al-Bashir untuk segera menyerahkan kekuasaannya. Hal ini membuat militer Sudan dan RSF menyadari bahwa kepemimpinan Bashir tidak berguna dengan itu militer Sudan dan RSF mengejutkan Bashir dengan rencana kudeta.
Komandan militer Sudan berkolusi bersama hemeti RSF untuk menggulingkan kekuasaannya. Setelah peperangan dan perjalanan yang panjang kementerian pertahanan, akhirnya Letjen. Ahed Awab Ibnu Aber berhasil menjabat sebagai presiden sementara di Sudan menggantikan posisi Omar Al-Bashir. Namun, setelah menjabat kurang lebih 2 tahun, pemerintahan Letjen. Ahed Awab Ibnu pada tahun 2021, di kudeta oleh pihak tentara militernya sendiri. Jendral Abdel Fattah Burhan merupakan salah satu bawahan dari Letjen. Ahed Awab Ibnu memimpin tindakan kudeta yang menggulingkan pemerintahan militer sebelum. Dalam kudeta yang kedua ini pihak militer lagi-lagi meminta bantuan ke RSF untuk menggulingkan pemerintahan Letjen. Ahed Awab Ibnu. Dari kedua kudeta ini bisa di lihat seberapa pentingnya RSF ini dalam pemerintahan militer di Sudan itu sendiri
Kudeta Militer Yang Berakhir Konflik Bersenjata MiliterÂ
Hubungan antara militer Sudan dan RFS di tahun 2023 ini sedang memanas. Pada bulan April kemarin akhirnya terjadi konflik bersenjata antara pihak militer Sudan dan RSF. Kelompok para militer atau Rapid Support Force (RSF). Sendiri merupakan kelompok yang bukan militer resmi dari negara Sudan namun, kegiatan mereka beroperasi selayaknya tentara militer. RSF sendiri dulunya merupakan kelompok Janjaweed yang isinya orang etnis Arab Saudi terkhusus yang ada pada wilayah Darfur. Konflik bersenjata antara militer Sudan dan RSF sendiri terjadi karena kurangnya komunikasi antar pihak militer Sudan dan RSF. Setelah berhasil mengkudeta pemimpin militer Sudan sebelumnya, Jenderal Abdel-Fattah Burhan langsung mengambil alih kekuasaan dengan perjanjian ia akan mengembalikan pemerintahan ini ke warga sipil tetapi dengan mengadakan pemilu 2023 tetapi, Jenderal Abdel-Fattah Burhan tidak menepati janjinya.Â
Disisi lain pemimpin kelompok RSF, Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo sebenarnya tidak ingin kepemimpinan diserahkan kepada sipil. Dari kedua kelompok militer ini mempunyai keinginan yang sama yaitu pemerintahan di Sudan dipegang oleh militer. Tetapi RSF di sini menginginkan status dan posisi yang jelas tidak hanya dijadikan tentara militer bayaran tetapi mempunyai posisi dan pengaruh di pemerintahan Sudan. Hal inilah yang tidak dapat dipenuhi oleh pihak militer Sudan.Â
Ketidaksepakatan ini yang membuat terjadinya konflik besar antara RSF dan militer Sudan yang semakin memanas. Kemudian, RSF secara tiba-tiba bergerak sendiri tanpa sepengetahuan militer Sudan dengan mengepung ibukota Khartoum dan berpencar ke beberapa wilayah. Tindakan yang dilakukan dari RSF ini membuat militer Sudan juga menggerakkan pasukannya karena militer Sudan khawatir jika RSF akan mengincar aset-aset ekonomi Sudan. Hal tersebut menjadi sorotan dari konflik ini ada kedua kelompok militer ini yang mempunyai dasar dalam memegang senjata dan kemiliteran yang menyebabkan konflik bersenjata militer tidak dapat dihindari.Â
Dilansir dari REUTERS, dalam 4 hari setelah konflik bersenjata antara pihak militer Sudan dan RSF terjadi sudah ada kurang lebih 270 korban jiwa dan 2.600 orang mengalami cedera. Tak hanya memakan korban jiwa, masyarakat Sudan juga terpaksa harus mengungsi karena banyaknya kehancuran dinegara tersebut. Sampai sekarang konflik bersenjata antara pihak militer Sudan dan RSF ini masih berlangsung tanpa adanya kesepakatan damai. Hal ini membuat banyak negara seperti Amerika Serikat dan organisasi PBB yang berusaha menyelesaikan konflik bersenjata di Sudan.
 Kedua kudeta yang terjadi di Sudan ini seharusnya tidak terjadi jika pemimpin terdahulu mereka yaitu Omar Al-Bashir menyelesaikan krisis ekonomi yang terjadi di Sudan. Sudan sendiri sudah mengalami kudeta sebanyak 16 kali, angka yang sangat banyak dan bahkan jauh dari kata normal. Jika kudeta militer dan perebutan kekuasaan di Sudan terus terjadi, ada kemungkinan Sudan akan kehilangan kedaulatan serta kepercayaan dari negara-negara di dunia. Belum ada solusi dari masalah kudeta berkepanjang an di Sudan, namun ini pastinya akan menjadi tugas yang berat bagi PBB dalam menyelesaikan masalah kudeta dan konflik bersenjata yang terjadi di Sudan saat ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H