Malam itu,tanggal 15 september 2015 tepat pukul 11.35 malam, ku baca sebuah pesan singkat dari seorang teman di Jakarta “bang Jul, tulisanmu sudah kukirimkan hingga ke Eropa”. Kira-kira seperti itulah pesan yang mengharuskan aku terbangun di tengah malam melawan rasa ngantuk stadium akhir yang menyerang mataku.
Sadar ataupun ‘ga sadar, keunikan sebuah tulisan telah menembus batas pulau, batas negara, bahkan batas benua sekalipun. So, berbanggalah saya dan kalian yang sudah menjadi seorang Kompasianer.
Yah…..Kompasianer, itulah julukan yang secara spontan aku raih sejak 26 Agustus lalu saat aku bergabung bersama media Kompasiana. Mungkin masih seumur kecambah, eh salah maksudnya seumur jagung, kalo dihitung pake jari 44 hari-lah saya menyandang gelar ini. Sebelumnya, ‘ga ada setitikpun bayangan dan mimpi saat tidur malampun ‘ga pernah menyapa bahwa aku akan menjadi salah satu dari sekian ribu anggota yang beraktifitas di Kompasiana, waow… keren. Dan yang lebih membanggakan lagi, beberapa (masih sedikit sih) tulisan yang aku buat ada bersama ratusan ribu artikel lainnya yang bisa menembus antrian hebat untuk mengisi kanal Kompasiana. Kisah perjumpaanku dengan Kompasiana adalah perjumpaan yang penuh perjuangan, perjumpaan yang membuat aku mengenal diriku sendiri, serta perjumpaan yang telah memutar arah kompas hidupku menjadi lebih baik.
Perjuangan, karena aku mengenal Kompasiana setelah aku melewati beberapa tahap seleksi beasiswa “Tanoto Foundation” hingga dinyatakan lulus, yang pada akhirnya untuk meningkatkan soft skill aku sebagai Scholar, aku mendapat pelatihan menulis dari Kompasiana. Andai aku tak lulus seleksi itu, mungkin hingga malam inipun aku ‘ga akan mengenal Kompasiana. Dan kalo aku ‘ga mengenal Kompasiana, mungkin tulisan inipun ‘ga akan pernah ada.
Aku mengenal diriku sendiri. Menulis adalah hal yang kulakukan setiap hari. Aku menulis rumus-rumus Kimia yang diajarkan dosenku, aku juga menulis di whiteboard saat aku mengajar beberapa siswaku. Itulah rutinitas menulisku. Tapi, berjumpa dengan Kompasiana telah mengajarkan aku sebuah cara menulis yang unik: aku menulis tentang hidupku, aku menulis apa yang kualami dan aku menulis sesuatu yang berbeda dari rutinitasku.
Arah kompas hidupku berputar. Hal yang ‘ga pernah aku lupakan adalah saat tulisan yang kubuat dimuat menjadi artikel pertamaku di Kompasiana. Tulisan pertama itu seakan menjadi magnet tersendiri buat jari-jariku untuk terus menambah sedikit demi sedikit tulisan di sana. Aku ‘ga akan menulis di otak lagi seperti yang kulakukan sebelumnya, dan tulisan di otak itu ga akan pernah dibaca orang lain. Sekarang, aku sudah punya wadah yang tepat untuk menuangkan apa yang ada di otak, apa yang aku pikirkan, sehingga orang lainpun tau dan bahkan menjadi bermanfaat buat sesama. Wadah yang berharga itu adalah Kompasiana.
Karena Kompasiana aku telah menetaskan tulisan-tulisan yang selama ini mengeram di otak. Karena Kompasiana aku bisa menemukan namaku tercantum di mbah Google sekarang. Karena Kompasiana aku menemukan sedikit bakat terpendam yang membuat jari-jariku menari indah di atas huruf-huruf keyboard. Karena Kompasiana aku bisa menembus batas Benua lewat sebuah tulisan.
22 Oktober tidak lama lagi. Rasanya tidak terlalu cepat untuk kuucapkan “Selamat Ulang Tahun ke-7 Kompasiana”. Harapanku: Tetaplah menjadi media Kompasiana kebanggaan warga di bumi Pertiwi ini & Sukses Selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H