Mohon tunggu...
Yulius Tandyanto
Yulius Tandyanto Mohon Tunggu... profesional -

peziarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kintir

15 Juni 2010   19:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:31 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kintir. Lema ini berasal dari bahasa Jawa yang berarti hanyut. Namun, lema ini tak sekadar bunyi bagi kelompok Seni Teku. Bagi mereka, kintir menjadi sebuah seni pertunjukan yang ingin menyapa dan bermain dengan para penontonnya.

Tampaknya Seni Teku mengolah pertunjukannya berdasarkan keunikan masyarakat agraris, yakni ketoprak. Keunikan ini memberikan pengalaman liyan bagi seni pertunjukan yang berakar dari realisme ala Stanislavsky--penafsiran akal budi atas realitas alam di mana manusia merupakan bagian dari realitas itu. Malah yang membuat olahan Seni Teku menjadi menarik dan hidup adalah kedekatan para pelaku dengan para petani, anak-anak, sawah, kubangan tak berair, rumah panggung, dan masyarakat di kampung Nitiprayan, Yogyakarta. Dari situlah tercipta teks (naskah) Kintir.

Bagi Seni Teku ruang tidak hanya bermakna panggung, tapi bersifat sosial. Ada interaksi dengan penonton, tapi tidak berlebihan sehingga mengganggu naskah. Justru interaksi ini muncul karena para pelaku menjelajahi ruang panggung terbuka dengan maksimal (pohon, pagar, lumpur, udara dingin, gelap malam). Inilah kreativitas apiknya: pemanfaatan objek dalam tiap ruang yang berbeda. Jadi, penampilan di halaman parkir Selasar Sunaryo Art Space akan berbeda dengan pertunjukan di Sanggar Baru, Taman Ismail Marzuki, juga di tempat-tempat lainnya.

Namun, keapikan ruang tidak segamblang penyajian naskah. Perpaduan dua teks menjadi satu keutuhan cerita membuat penikmat awam cukup berkerut. Penyebabnya, sebagian teks Kintir diambil dari sebuah bagian kecil Mahabharata: cerita tentang delapan wasu yang mencuri lembu Nandini milik Resi Wasistha. Atas perbuatan tak terpuji itu, para wasu dikutuk untuk turun ke bumi menjadi manusia. Sebagian teks lainnya menceritakan seorang ibu tanpa suami melahirkan delapan anak. Anak yang lahir dari hubungannya dengan kekasih, lelaki yang memperkosanya, serta lelaki yang membayarnya.

Mungkin perpaduan teks tersebut juga mencari ruangnya untuk dimengerti bagi generasi yang sudah tercerabut dari akar nenek moyang, karuhun, pitarahnya. Tema/premisnya menceritakan tentang kehidupan ibu dan anaknya yang dibahasakan dengan larik-larik puisi (puitik), bahasa percakapan (prosaik), juga dialek Jawa (sosiologistik). Dikemas dalam ragam ekspresi tragikomedi--mungkin juga farce (sejenis satir komedi yang bermain-main dengan identitas, termasuk seks)--yang bergaya realisme, simbol-simbol, dan absurd. Tak ketinggalan alur yang episodik bercampur dengan alur yang sirkuler.

Semua ini terhanyut dalam sebuah pengalaman: Kintir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun