Jumat malam (7/5) saya bertandang ke Selasar Sunaryo, Bandung, untuk menyaksikan pertunjukan drama “Mereka Memanggilku Nyai Ontosoroh”, sebuah adaptasi dari roman “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer. Dari pertunjukan semalam, saya sebagai penonton coba mengulas penokohan, naskah, dan sedikit komentar teknis dalam catatan ini.
Ada empat tokoh diperankan dalam drama ini, tentu Nyai Ontosoroh menjadi bintangnya yang dilakonkan oleh Sita Nursanti. Tokoh Nyai Ontosoroh alias Sanikem adalah seorang perempuan yang hidup di akhir abad ke-19 di daerah Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur. Ia “dijual” kepada seorang tuan tanah bernama Hermann Mellema oleh ayahnya. Sejak itulah Sanikem membenci ayahnya dan memiliki kepahitan hidup yang teramat sangat. Namun, kepahitan ini justru membuatnya menjadi perempuan yang mandiri dan tangguh. Dalam pertunjukan semalam, penampilan Sita kurang memuaskan karena tampaknya ia masih tanggung dalam menampilkan sosok Sanikem yang rapuh sekaligus tangguh, keras sekaligus lembut (anggun). Kesan lembutnya masih terasa dominan. Namun, ia berhasil menghadirkan sosok utuh Sanikem di saat-saat terakhir pertunjukan.
Hermann Mellema diperankan cukup baik oleh Willem Bivers. Hermann adalah seorang tuan tanah dan mengepalai pabrik gula di wilayah sekitar Sidoarjo. Ia memiliki istri dan anak di Belanda, tetapi tergoda oleh kecantikan Sanikem sehingga mengambil Sanikem menjadi gundik atau nyai. Tokoh Hermann juga menaruh perhatian yang besar untuk pendidikan Sanikem. Bahkan, Sanikem sempat menganggap Hermann sebagai yang dicintainya sebagai suami, guru, dan dewanya.
Annelies Mellema merupakan anak kedua dari Herman dan Sanikem. Ia digambarkan sebagai gadis cantik yang kecantikannya mengalahkan Ratu Wilhelmina, Belanda. Didikan ala Sanikem Annelies menjadi sosok yang mandiri sekaligus penuh pesona. Rasanya Agni Melati cukup baik memerankan sosok Annelies yang manja, perasa, penyendiri, tetapi ramah dan membuat Minke jatuh hati.
Bagus Setiawan memerankan tokoh Minke dengan cukup baik. Hanya saja kekaguman Minke akan Nyai Ontosoroh kurang tergarap dengan sempurna alias tanggung. Dalam hal lain, Bagus berperan cukup meyakinkan dalam menghadirkan sosok Minke sebagai pelajar HBS yang juga menaruh hati pada Annelies.
Baik-tidaknya sebuah drama berkaitan dengan pengemasan naskah dan eksekusinya. Dalam hal ini Faiza Mardzoeki (penulis naskah merangkap produser) dan Wawan Sofwan (sutradara) bekerja sama cukup baik, tetapi tidak dalam hal misi budaya Indonesia-Belanda yang akan diusungnya. Mengapa demikian?
Alur cerita yang dipakai dalam drama ini bersifat kilas balik. Memang alur ini tepat untuk menggambarkan sudut pandang Nyai Ontosoroh. Namun, adaptasi ini kurang sempurna karena eksplorasi penokohan Nyai Ontosoroh terbatas pada “Bumi Manusia”-nya Pram. Tokoh Nyai Ontosoroh cukup dominan dalam roman tersebut, tapi hal itu untuk mendukung penokohan Minke sebagai tokoh utamanya. Maka, cukup banyak adegan-adegan penting yang seharusnya muncul untuk menafsirkan konteks cerita. Jika penonton tidak mengenal konteksnya, drama ini mengesankan antipati dan mengobarkan kebencian terhadap Eropa, dalam hal ini Belanda. Akan lain halnya jika menggunakan sudut pandang Minke. Ada konflik batin mengenai jati dirinya sebagai pribumi dan idealisme ala Eropa yang menarik untuk dibahas dalam misi budaya Indonesia-Belanda.
Jika boleh disimpulkan, ketegangan utama dalam cerita ini adalah ketidakadilan bertubi-tubi yang dihadapi oleh Nyai Ontosoroh. Ketidakadilan ini muncul dalam status nyai (dianggap tidak sah), hukum Kristen-Islam (perkawinan Minke-Annelies), dan status hukum pribumi di dalam pengadilan Eropa. Mirip dengan romannya, perjuangan sebaik-baiknya meskipun kalah menjadi katastrofa (kesimpulan di akhir kisah untuk jenis tragedi) drama ini.
Dari segi teknis menyangkut panggung, musik, kostum, tata rias, disiapkan dengan cukup baik. Hanya saja teknis pencahayaan (pengaturan lampu sorot) masih kurang apik. Seringkali penyorotan lampu tidak pas sehingga bahasa tubuh dan ekspresi wajah menjadi tidak tampak.
Secara keseluruhan, pengelolaan seni pertunjukan drama ini cukup baik, meskipun ada kekurangan di sana-sini. Mungkin saja mereka masih gugup untuk penampilan perdana sebelum dipentaskan di Jakarta, Amsterdam, The Hague (Den Haag), dan Belgia. Hanya saja saya ragu dengan misi budaya yang diembannya. Atau mungkin saja mereka punya sudut pandang lain yang belum terpikirkan oleh saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H