Mohon tunggu...
Yulius Tandyanto
Yulius Tandyanto Mohon Tunggu... profesional -

peziarah

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Abrakadabra, Mengindonesialah!

25 September 2012   03:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:46 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Barangkali kita sudah tak ambil pusing mengenai karut-marutnya perbahasaan, perlafalan, percelotehan, perujaran, dan per-per lainnya yang berkaitan dengan bahasa Indonesia. Buktinya, kita abai dengan gejala nginggris, alay, dan segala macam “kreativitas” lainnya yang cenderung memunahkan kebiasaan bertutur kata yang baik.

Sungguh sayang, padahal para pendiri bangsa ini telah bersumpah untuk menjunjung tinggi laras bahasa 84 tahun silam. Wai, bukankah selama itu pula bahasa Indonesia telah menyatukan diri dengan peridentitasan kita? Tutur kata yang khas Indonesia tidaklah muncul begitu saja bak bermain sulap, tapi perlu dibiasakan bukan dibinasakan.

Namun, apa hendak dikata, melihat suasana pembiaran adab bahasa kini, kita hanya bisa berujar, “Yah, mau bagaimana lagi?” Atau, ada pula sebagian orang yang berkomentar dengan logat serampangannya, “Emang ngaruh yah buat gue? Apa seh pentingnya bahasa Indonesia?”

Ah, rasanya kita tak perlu berkaok-kaok lagi akan pentingnya berceloteh Indonesia. Tulisan-tulisan macam itu sudah banyak. Tidak percaya? Coba saja Anda ketikkan kalimat “pentingnya bahasa indonesia” pada mesin pencari elektronik sekelas Google. Dan ... abrakadabra! Dalam waktu kurang dari dua detik, Anda akan disuguhkan sekitar 3 juta hasil pencarian yang (moga-moga) mengulas istimewanya tutur cakap kita.

Dan sialnya, tulisan yang sedang Anda baca saat ini bisa jadi menambah perbendaharaan tema yang terdengar “baik” sekaligus membosankan itu. O, ya, menjemukan karena sudah terlalu banyak yang membahasnya, entah dari sudut pandang sejarah-budaya yang akademis sampai pengalaman sehari-hari yang dikemas santai. Nahasnya, praktik berbahasa kita tetap saja suka-suka dan dibiarkan sambil lalu.

Sebetulnya tidak sedikit orang yang masih peduli dengan bahasa kita yang sedang mati suri ini. Seorang sahabat, yang sedang mengajar di Kalama prihatin dengan bahan pelajaran bahasa Indonesia yang digunakan di pedalaman Sulawesi Selatan itu.


"Bayangkan! Dalam buku LKS (lembar kerja siswa) bahasa Indonesia kelas sembilang, terbitan X, halaman 18, cerita pengantarnya saja menggunakan bahasa Inggris. Judulnya, 'Become Their Manager'. Bagaimana murid-murid bisa fasih dan senang berbahasa Indonesia jika bahannya saja tidak mendukung?” tukasnya yang kini menjadi sukarelawan tenaga pendidik Indonesia Mengajar angkatan IV.

Selain pengalaman sang sohib, naga-naganya “dunia luar” pun telah menunjukkan keprihatinannya dalam beberapa tahun terakhir ini. Jurnalis Norimitsu Onishi pernah menulis artikel berjudul “As English Spreads, Indonesians Fear for Their Language” yang diterbitkan The New York Times edisi 26 Juli 2010. Dalam artikel tersebut digambarkan suatu keadaan ironis di mana anak-anak Indonesia kiwari lebih fasih berbahasa Inggris dan tak dapat berbahasa Indonesia. Alamak!

Situasi-situasi yang memprihatinkan itu seharusnya dapat kita jadikan bahan bakar untuk memantik daya kreatif. Salah satu contohnya, kita bisa membiasakan diri memakaikan nama yang mengindonesia pada si buah hati—ketimbang yang bernuansa kebarat-baratan atau kearab-araban. Jika Anda anggap nama yang mengindonesia kurang rancak, o, Anda perlu lebih percaya pada kekayaan budaya sendiri karena keren hanyalah soal pola pikir. Siapatah yang tak akan senang menyapa seorang gadis bernama “Kemilau Cempaka”? Atau, seorang pemuda yang bernama “Gilang Rawi”?

Rasanya masih banyak seabrek kreativitas lainnya yang menanti untuk “dijajal” bila kita sungguh-sungguh peduli pada bahasa nasional. Tentu dalam perjalanannya akan ada drama, proses, disiplin berbahasa yang ketat hingga pada akhirnya kita dapat bermain dan bercanda-tawa dengan kata-kalimat yang khas nusantara. Yang pasti, mencintai tutur cakap Indonesia itu perlu dibiasakan dan tak terjadi begitu saja semudah mengucapkan mantra absurd, “Abrakadabra, mengindonesialah!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun