Tulisan ini mungkin agak terlambat, sebagai suatu tulisan dengan tema memperingati Hari Ibu. Tapi apa daya, ide dan gagasan baru bisa keluar setelah hari ibu.
Ini adalah tentang nenek saya. Bukan nenek kandung, karena beliau ditakdirkan tidak bisa punya keturunan. Namun beliau telah menjadi ibu asuh bagi ibu kandung dan paklik saya, karena nenek kandung harus bekerja di luar kota.
Dari sejak ibu saya kecil, nenek asuh inilah ( yang kami sebut Mbah Uti ) yang mengasuh dan membesarkan ibu saya. Meski sambil kerja sebagai penjual dawet di pasar, dibantu oleh Mbah Kakung dan sodara2, Mbah Uti mengasuh ibu saya, bahkan sampai ibu saya menikah dan punya anak.
Dari sejak taun 1960, Mbah Uti sudah berjualan dawet. Bangun jam 2 pagi, memasak dan menyiapkan dagangan. Jam 5 sudah berangkat ke pasar, menyusuri rel di pagi yang masih gelap.
Saat itu, jalur ke pasar masih belum diterangi listrik. Hanya mengandalkan cahaya alam, remang2 dan kadang jalan becek d musim hujan. Berjualan sampai sekitar jam 10 pagi, pulang sambil membawa bahan2 untuk berjualan besok harinya.
Sampai rumah, nenek buyut saya bertugas menumbuk beras ( dulu belum ada tepung beras yang sudah jadi, kalopun ada harganya masih mahal ). Sementara Mbah Uti mencuri waktu untuk sekedar tidur siang sebentar.
Begitu seterusnya dijalani hingga sekitar tahun 1990an. Berhubung tempat jualannya sudah tergusur, Mbah Uti memutuskan untuk jualan di rumah, barang2 kebutuhan sehari2, beras, gula, minyak tanah. Meski untung tak seberapa, tapi katanya dia ga bisa cuma nganggur aja di rumah. Badan malah jadi sakit semua.
Sampai ketika Mbak Kakung meninggal di taun 1997, dan dagangan telah habis karena modal telah habis utk biaya Mbah Kakung di rumah sakit. Beberapa bulan kemudian Mbah Uti memutuskan untuk berjualan nasi di rumah. Nasi dengan lauk pauk, soto, kare, oseng2, tahu/tempe bacem, gorengan.
Dengan ritme kerja seperti saat jualan dawet, bangun jam 2 pagi, dan mulai berjualan jam 5-5.30 pagi.Begitu setiap hari, kecuali hari Minggu libur untuk istirahat. Pelanggan pun lumayan banyak, dari tetangga sekitar, sampai ke warga yg rumahnya lumayan jauh dari rumah kami. Meski keuntungan tak tentu, kadang laris kadang biasa, Mbah Uti melakoni pekerjaan ini dengan senang hati.
Di bulan puasa, bahkan beliau buka saat sahur tiba. Mulai memasak jam 10 malam, mulai berjualan jam 2 pagi. Betapa perjuangan yang luar biasa. Dan itu pun dikerjakan seorang diri, hanya kadang dibantu oleh 1 sodara saya. Berhubung anggota keluarga yang lain kerja, dia sering menolak untuk dibantu, karena takut nanti kami ngantuk di kantor.
Meski beliau tidak menjalankan ibadah puasa, namun beliau merasa harus non stop berjualan pas sahur. Karena katanya, kasian kalo dia libur ( meski badan capek ) dan para pembeli kecewa atau harus beli di tempat lain yang lebih jauh.Padahal sahur kan cuma pendek waktunya. Barulah di hari terakhir puasa beliau berhenti berjualan, dan bersiap2 memasak sendiri untuk persiapan Lebaran.
Kami, cucu2nya, sering menegur beliau, minta supaya beristirahat saja, tidak perlu bekerja terlalu keras. Karena kami masih bisa mencukupi kebutuhan beliau, walau hanya sederhana. Pertama2 memang beliau menurut, tidak berjualan. Namun beberapa hari saja, beliau sudah mengeluh. Badannya capek semua, tidak ada kerjaan, cuma duduk2 saja pikiran malah ngelantur kemana2. Bahkan akhirnya malah jatuh sakit, meski hanya masuk angin. Akhirnya, kami pun mengalah. Kami biarkan beliau berjualan lagi, hanya pesan kami, bila merasa capek, libur saja dulu. Tak perlu dipaksakan. Beliau pun sepakat, sampai sekarang.
Kami, anak2 dan cucu2 asuhnya, yang merasa seperti anak dancucu kandung, merasa berhutang banyak kepada beliau. Bisa dibilang, beliaulah yang lebih dekat dengan kami dibandingkan dengan nenek kandung kami sendiri. Banyak ajaran dan falsafah hidup yang kami dapatkan, semangat hidup yang kami tiru dari keseharian beliau.
Dan masih dalam suasana hari Ibu yang sedikit terlambat, kami ingin mengucapkan Selamat Hari Ibu untuk Mbah Uti kami. Semoga kami diberi kesempatan lebih lama untuk bisa bersama beliau, membahagiakan beliau, dan memberi makna lebih bagi beliau, yang tidak bisa beliau dapatkan dari anak2 yang tidak bisa beliau lahirkan sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H