Saat menunggu kereta datang di stasiun Sangkrah, aku melihat seorang kakek yang mendorong sepedanya mendekat ke kerumunan para calon penumpang. Disandarkannya sepeda tuanya di tembok kantor stasiun, dan dibawanya kotak cooler dari boncengan sepedanya.
Sambil berkeliling di antara para calon penumpang, dia berteriak menawarkan dagangannya ‘ Es gabus… es gabus…’. Wah, tak kusangka masih ada yang jualan es gabus sekarang ini.
Ingatanku melayang ke masa2 SD dan SMP dulu. Saat itu harga sepotong es gabus adalah sekitar 15rupiah ( kalo ga salah ingat ). Es gabus terbuat dari adonan tepung hunkwe yang dibekukan. Ketika dimakan, rasanya kres kres seperti mengunyah sepotong gabus. Itulah kenapa disebut es gabus, ada juga yang menyebutnya es hunkwe.
Kembali ke masa kini, kuamati bapak tua penjual es gabus tersebut. Cooler yang dia bawa sudah kusam, sekusam sepeda tuanya. Orang2 yang dia tawari pun ga ada yg tertarik beli. Kasian..
Mungkin bila dia berkeliling menjajakan dagangannya di daerah pelosok, mungkin akan lebih laku. Di kota, ada lebih banyak saingan dari es gabus : es krim, es buah, es teler, atau minuman dingin lainnya. Lagipula, karena harganya yang mestinya lebih murah, mungkin orang2 meragukan bahan2 pembuat es gabus tersebut. Apakah mengandung sakarin ? Apakah pembuatannya higienis ?
Es gabus adalah satu produk yang semakin tersingkir oleh jaman. Ada banyak penganan yang dulunya beredar, namun kini jarang atau bahkan tidak bisa ditemukan lagi. Mungkin para kompasioner punya makanan khas masing2 yang sekarang hilang ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H