Mohon tunggu...
Fina Herfina
Fina Herfina Mohon Tunggu... -

yakin dan percaya harapan itu tdk pernah habis dan putus

Selanjutnya

Tutup

Politik

Negeri Dongeng Binatang

23 November 2009   22:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:13 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kasus KPK vs POLRI semakin hari semakin “seru” untuk diikuti. Kasus ini bermula saat Kabareskrim Komjen Susno Duaji menangkap dua wakil KPK. Karena penyalahgunaan wewenang, dengan ancaman enam tahun penjara, terkait pencekalan Direktur Masaro, Anggoro Widjojo, tersangka kasus korupsi di Departemen Kehutanan dan pencabutan pencekalan Direktur PT Era Giat Prima, Djoko Chandra,tersangka kasus cessie Bank Bali. Dalam hal ini, polisi berpegangan pada Pasal 21 Ayat 5 UU No 30/2002 tentang KPK yang mengharuskan keputusan pencekalan pimpinan KPK harus bersifat kolektif, tidak hanya tergantung pada keputusan Bibit dan Chandra. Belakangan, pasal yang disangkakan oleh Polisi berubah dari penyalahgunaan kewenangan, penyuapan, pencobaan pemerasan, dan pemerasan. Misteri langsung berkembang apakah penangkapan ini terkait tindakan balas dendam Susno yang mengetahui bahwa dirinya sedang disadap oleh KPK terkait kasus Bank Century. Adapun kasus ini berawal saat Susno diberitakan meminta fee 10% dari jumlah uang sebesar US$18 juta milik Boedi Sampoerna. Dugaan balas dendam atau rivalitas antar dua lembaga ini pun terus berkembang di masyarakat seiring dengan sebutan “Cicak vs Buaya” yang di sempat lontarkan oleh Susno. Publik pun tidak tinggal diam. Berbagai organisasi dan masyarakat luaspun memprotes keras penahanan kedua pimpinan KPK ini. Bahkan, Presiden SBY pun ikut turun tangan dengan membentuk satu tim independen bersifat ad-hoc yang diketuai Adnan Buyung Nasution untuk menelusuri kasus ini. Karena tuduhan Polisi terhadap Bibit dan Chandra yang tidak konsisten—ditambah lagi penetapan tersangka yang diputuskan dalam hitungan jam, dari penetapan sebagai saksi—publik pun dibuat bingung. Jika memang proses pencekalan yang dipermasalahkan, seharusnya kasus ini dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Tetapi, Polisi bersikeras bahwa kasus ini bisa di bawa ke pengadilan atas tuduhan penyuapan seperti yang dilaporkan oleh mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Dengan semakin populernya dua nama binatang, “Cicak” dan “Buaya”, yang di sangkutkan pada kasus tersebut, semoga saja nama lain tidak akan muncul didalam kasus ini, khususnya “Kambing Hitam”. Sayangnya, ada kemungkinan bahwa nama binatang tersebut akan muncul ke permukaan. Pertanyaannya sekarang, yaitu siapa yang akan memerankan tokoh tersebut. Seperti diketahui, berdasarkan informasi yang berkembang di masyarakat, Anggoro menyuruh adiknya, Anggodo Widjojo untuk menyuap petinggi KPK agar pencekalan Anggoro dicabut. Anggodo diberitakan memberikan uang suap ke pimpinan KPK senilai Rp. 5,1 milyar melalui perantara Ari Muladi. Jika memang ini merupakan scenario besar yang sengaja dibuat oleh POLRI untuk menjatuhkan KPK,kemungkinan tokoh “Kambing Hitam” akan diperankan oleh Anggodo. Dalam hal ini, polisi memang sudah lama mau menggembosi sebuah lembaga “superbody” tersebut yang telah menimbulkan kecemburuan diantara lembaga penegak hukum. Tetapi pada akhirnya, bukan tidak mungkin bahwa Anggodo yang akan ditangkap dengan tuduhan penyuapan. Tokoh “Kambing Hitam” juga bisa diperankan oleh Antasari Azhar. Bukti kriminalisasi KPK-pun agaknya menguat setelah tersangka Wiliardi Wizar mengakui bahwa BAP di tanda tangani olehnya karena ada intimidasi dari petinggi. Agaknya, jika Antasari bisa lepas dari tuduhan ini, Wiliardi lah yang di jadikan “Kambing Hitam”. Dalam hal ini, kita juga harus bersikap adil dalam memandang kasus tersebut, dengan masih membuka kemungkinan bahwa POLRI adalah pihak yang dipojokkan. Dengan kata lain, jika scenario penggembosan KPK oleh POLRI memang hanya suatu dugaan yang mengada-ada, yang di buat oleh pihak tertentu. Nantinya akan terlihat bahwa POLRI lah sebenarnya yang dijadikan “Kambing Hitam.” Seperti diketahui, sewaktu KPK mau menyelidiki kasus Bank Century, karena ada kejanggalan dalam pencairan dana, Polisi langsung memeriksa para pejabat KPK terkait kasus penyalahgunaan wewenang dan penyuapan. Yang dikhawatirkan disini ialah dugaan bahwa Polisi sebenarnya hanya digunakan untuk menutupi apa sebenarnya yang terjadi di Bank Century, yang menerima kucuran dana pemerintah sebesar Rp. 6,7 triliun. Opini kemudian dilemparkan ke publik bahwa ada persaingan antar lembaga, agar masyarakat tidak terfokus pada masalah Century yang mungkin melibatkan pejabat-pejabat negara lainnya. Namun lebih disayangkan lagi jika ternyata ada scenario terakhir yang memunculkan nama binatang baru, yaitu “adu domba”. Dimana kepolisian memang di “adu domba” dengan KPK. Siapakah tokoh yang akan memerankan “pengadu domba” disini? Memang belum terlihat jelas, namun para koruptor sedang menari-nari diatas kesedihan institusi negara yang sedang mengalami krisis tersebut. Karena anggodo bumi pertiwi jadi negeri dongeng binatang, ada buaya, ada cicak, ada kambing, ada domba dan ada drakula. salam kasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun