Kebijakan moneter penerapan suku bunga rendah pasti akan dilakukan pada situasi krisis terlebih lagi jika resesi. Mayoritas bank sentral telah menurunkan suku bunga acuan sebagai penggerak sektor riil. Harapannya dengan suku bunga rendah dapat menarik permintaan masyarakat untuk mulai menjalankan usaha melalui kredit sebagai sumber dana.
Alur tersebut tidak serta merta terjadi jika bank sentral tidak melihat bagaimana kondisi likuiditas perbankan sejak masa pandemi covid 19. Pandemi ini mengajarkan negara bahwa dampak terhadap likuiditas sangat signifikan karena kredit yang pada umumnya telah berjalan lancar dengan tingkat NPL (non performing loan) yang masih terjaga terhenti karena pandemi.
Masyarakat tidak dapat melaksanakan usahanya seperti biasanya, aktifitas masyarakat terhenti seketika, jumlah permintaan barang menurun sehinga barang produksi tidak terjual. Terlebih lagi transportasi umum dibatasi, tempat berkumpul dan lainnya juga ditutup sementara. Perusahaan mengalami beban yang cukup tinggi dan tidak dapat menutupi kerugian yang pada akhirnya PHK (pemutusan hubungan kerja) terpaksa dilakukan.
Berbagai pertimbangan tersebut menyebabkan bank sentral sebagai pengawas stabilitas moneter secara cepat tanggap mengambil keputusan dari sisi kebijakan suku bunga. Amerika Serikat melakukan pemotongan suku bunga yang cukup agresif pada bulan Maret 2020 menjadi 0% untuk mengurangi volatilitas pasar keuangan.
Suku bunga acuan Inggris sebesar 0.1% dan disinyalir akan mengarah kepada suku bunga negatif. Zona Eropa masih tetap mempertahankan di level 0% namun memperkuat program stimulus ekonomi.
Salah satu negara asia yaitu Jepang bahkan telah menganut suku bunga negatif -0.1% sejak tahun 2016 agar dapat merangsang pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia juga mengikuti jejak bank sentral lainnya secara bertahap menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sejak pandemi telah menyebar.
Bagaimana dampak kebijakan tersebut terhadap pergerakan ekonomi perlu dievaluasi efektif atau tidaknya agar jangan sampai Indonesia mengalami “liquidity trap”.
Fenomena “liquidity trap” terjadi pada saat era suku bunga rendah yang di stimulasi oleh bank sentral untuk mendukung pertumbuhan ekonomi menjadi tidak efektif ketika permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa tetap lemah.
Hal ini akan terjadi jika motif masyarakat untuk memegang cash untuk berjaga-jaga semakin tinggi. Idealnya stimulus digunakan untuk usaha dan konsumsi ataupun investasi tetapi dengan kekhawatiran akan resesi masyarakat menjadi cenderung menyimpang saja dananya dalam bentuk cash. Dampak kondisi ekonomi selama pandemi ini menjadi “liquidity trap” memperhatikan indikator-indikator tertentu.
Pertama era suku bunga rendah, dampak fenomena tersebut mungkin saja akan dialami Indonesia jika suku bunga sudah menjadi 0%. Saat ini BI7DRR masih 4% dengan tingkat inflasi inti 2.07% (yoy) artinya walaupun permintaan domestik lemah masih terdapat ruang pertumbuhan dengan keterbatasan.
Amunisi BI untuk menurunkan suku bunga masih ada dengan tetap memperhatikan kondisi eksternal. Akan tetapi likuiditas yang menjadi banjir di perbankan diharapkan dapat disalurkan ke kredit dengan suku bunga yang rendah juga.