“Oh, you’re from Detroit. How is it now? Still ruined?”
Kalimat itu tidak asing lagi bagi saya. Detroit memang terkenal sebagai salah satu kota yang runtuh di AS. Runtuh dalam arti yang sebenarnya, bukan kiasan. Jika anda bertandang ke kota tersebut dan melewati satu atau dua mil dari downtown (pusat kota), dengan mudah anda akan menemukan banyak buktinya.
Sewaktu awal tinggal di sini, suatu kali tanpa sengaja saya dan suami salah mengambil jalur alias kesasar. Kami membelokkan mobil ke sebuah ruas jalan, dan terus masuk dengan harapan akan menemukan jalan pintas untuk kembali. Namun ternyata jalan itu justru membawa kami memasuki kawasan yang sebelumnya tak pernah terlintas dalam pikiran bahwa tempat semacam itu ada di negara ini.
Kami memasuki ruas jalan yang sepi. Semula yang tampak adalah rumah-rumah tua dengan halaman berumput yang tidak terurus. Liar dan dipenuhi semak. Kemudian makin lama deretan rumah yang ada tidak hanya tua, tetapi juga rusak. Menghitam di sana-sini. Dipenuhi tempelan tripleks. Dipenuhi tumpukan sampah. Penuh coretan. Runtuh seperti bekas terbakar. Tikus berlarian dari tumpukan barang di beberapa teras rumah. Jarang ada orang melintas. Kalaupun ada, mereka tidak tampak seperti orang sehat. Pendeknya, kawasan itu sepi dan seram. Bulu kuduk saya sampai meremang, karena merasa ada beberapa mata mengintip gerak mobil kami dari balik rumah-rumah lapuk tersebut. Belakangan, saya baru tahu kalau beberapa area di Detroit tersebut sudah dianggap tidak ada ZIP Codenya karena memang tidak ada orang yang secara legal tinggal di sana!
Sebelumnya, Detroit terkenal sebagai Paris-nya Amerika, dengan banyak mobil berseliweran, lapangan pekerjaan berlimpah, orang-orang kaya, pusat perbelanjaan, gedung opera, hotel mewah, dan taman-taman yang indah. Namun semuanya berubah drastis pasca kerusuhan rasial dan pindahnya aktifitas industri mobil ke luar kota. Penduduk golongan menengah ke atas banyak yang pindah ke kawasan suburban, yang lebih nyaman dihuni dan memiliki fasilitas lebih baik. Mereka yang miskin dan berpendidikan rendah terpaksa tetap tinggal, dan menjadi bagian dari problem sosial yang menggerogoti kota tersebut.
Perbaikan bukannya tidak dilakukan. Kota ini menerima dana federal dari pemerintah sebesar lebih dari 40 juta dollar untuk mengembalikan wajah Detroit seperti masa lalu, atau setidaknya merubah kota ini menjadi lebih baik. Beberapa pihak memulai inisiatif dengan menjadikan lahan terlantar sebagai urban farming, seperti yang dilakukan oleh grup Hantz Farms Detroit. Penduduk memperbaiki lingkungan sekitar. Heidelberg Project merubah sebagian lingkungan slum menjadi area seni. Mayor Dave Bing pun memperkenalkan konsep perbaikan kota untuk jangka pendek dan jangka panjang, yang dinamai Detroit Works Project. Kelompok Reclaim Detroit berusaha memperbaiki rumah-rumah yang rusak dan sebisa mungkin menyelamatkan bangunan-bangunan bernilai sejarah.
Namun problem di dalam lebih serius dari sekedar kemiskinan, rasisme, atau bangunan yang runtuh.
Detroit adalah tempat di mana mental korup berkelindan. Tak hanya sekali dua kali muncul berita tentang kasus korupsi kelas kakap yang dilakukan pejabatnya; hingga membuat pemerintah memutuskan menyetop dana federal tahunan sebesar 50 juta dollar untuk Detroit lantaran banyaknya kasus korupsi. Romantisasi mental gangster, yang terutama menghantui komunitas kulit hitam; membuat mereka terus hidup dalam bayang-bayang kekerasan dan perdagangan narkotik. Termasuk mental miskin, di mana orang tanpa sadar menjegal setiap upaya orang-orang yang berusaha untuk maju dan hidup lebih baik, dan menariknya kembali untuk setia pada kemiskinan.
Dari luar, orang mungkin tak percaya bahwa ini bisa terjadi di sebuah negara adidaya. Tapi percayalah, di negara sebesar apapun, kehancuran dapat terjadi jika mental negatif sangat dominan. Dan percayalah, membangun kota yang runtuh jauh lebih mudah daripada menghilangkan mental korup dan miskin.
*****
picture source: http://www.guardian.co.uk/artanddesign/gallery/2011/jan/02/photography-detroit