Mohon tunggu...
Julie Nava
Julie Nava Mohon Tunggu... -

Indonesian writer and Branding Consultant. Live in Detroit - Michigan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sastra (Buruh) Migran: Apakah Itu?

19 November 2012   03:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:05 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1353295751964445594

Sastra Migran. Atau Sastra Buruh Migran.

Kategori sastra jenis ini pertamakali saya dengar dalam acara penganugerahan Award oleh Voice of Indonesia (VOI). Ini tahun kedua penganugerahan Award, dan tahun ini saya beruntung menjadi Pemenang I Bilik Sastra Award 2012.

Terlambat sebenarnya saya mengenal istilah Sastra Migran ini, karena Sastra Migran sudah didengungkan lebih dari setahun yang lalu. VOI menggagas acara Bilik Sastra, yang disiarkan khusus untuk pendengar di luar negeri. Bilik Sastra adalah tempat di mana VOI menerima kiriman karya-karya orang Indonesia yang bermukim dan bekerja di luar negeri (terutama berupa cerpen), untuk dibaca dan diapresiasi. Dalam acara itu, pendengar yang berminat dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Indonesia, dapat menikmati karya sastra buatan warga Indonesia. Sekedar untuk pelepas rindu dengan tanah air, atau untuk mencermati bagaimana sastra dan bahasa Indonesia berkembang dalam lingkungan global.

Mengapa Sastra (Buruh) Migran ini unik? Dan mengapa perlu mengenalkan karya warga Indonesia di luar negeri dalam lingkup kategori ini?

Sebabnya adalah, tulisan dan karya sastra lainnya yang tercipta dari penulis Indonesia di luar negeri, menyimpan banyak rekaman dinamika bahasa dan kultur. Saat kita berada di negeri lain, mau tidak mau, penggunaan bahasanya akan tercampur dengan nuansa budaya setempat. Perhatikanlah novel atau cerpen yang ditulis oleh penulis Indonesia di Hongkong, Arab Saudi, Amerika Serikat, Australia, bahkan di negara-negara Eropa. Pasti banyak sentuhan khas di dalamnya, yang membuat kita dapat membaca bagaimana nuansa kehidupan di luar sana.

Aroma kemandirian, kesepian, cinta, keangkuhan, kerinduan, kesederhanaan dan kepasrahan terhadap jalan hidup yang dilalui, tercermin dalam kalimat-kalimat mereka. Karakter-karakter dalam kisah yang ditulis, mengungkap banyak sisi manusiawi yang universal. Bahwa cinta bisa tumbuh di mana saja. Bahwa rasa kemanusiaan tidak mengenal batas ras, bangsa, ataupun negara. Dan, bahwa hidup tetap memiliki sisi terang dan gelap, di manapun kita berada.

Perhatikanlah bagaimana para penulis Indonesia di luar berusaha teguh dengan penggunaan Bahasa Indonesia. Ini tidak mudah sebenarnya. Banyak godaan untuk memakai bahasa yang bercampur-campur dengan kosakata asing. Kekakuan saat berusaha membuat kalimat yang bisa diterjemahkan dengan mudah oleh kawan dan keluarga mereka di bumi yang berbeda. Serta kepenatan saat menyadari betapa di tanah air, penggunaan bahasa Indonesia justru semakin tak jelas. Terkikis oleh penggunaan bahasa slang, bahasa alay, dan entah bahasa apa lagi namanya.

Menjadi setia itu tidak mudah.

Ini yang membuat saya sangat menghargai kerja keras tim VOI, dan kerja keras semua orang yang berusaha mengangkat citra karya sastra para migran tersebut. Termasuk juga, tentu saja, kesetiaan para migran yang berusaha tetap merawat bahasa asalnya melalui karya-kara yang mereka buat. Tinggal dan bekerja di negara orang, tidak selamanya berarti hujan emas. Lebih sering hujan batu, menurut saya. Namun toh itu bukan alasan untuk melupakan akarnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun