___
Tiara tengah berhadapan dengan pemilik sepasang mata tegar itu, yang selama dua tahun telah menawan hatinya, dan dengah ikhlas ia puja, ia cinta. Sang waktu telah menghitung berjuta kali belai kasih sayang Tiara kepada kekasihnya itu.
Namun di depannya kini mata elang itu bagai mematuk jiwanya yang melayang-layang, hingga sukma itu dipaksa menukik ke tanah, mendarat tak terencana. Pun walau tak berdebum, tapi sungguh menyakitkan dan merobek.
“Ada apa, Tia?” sergah Rozy, memecah keheningan. Ah, desah Tiara, andai saja mataku mampu bercerita atau dapat bertelapati langsung pada pikirannya, tak perlulah aku menjelaskan padanya panjang lebar. Penat hati ini. Tak ada ekstra energi lagi untuk mengumbar kata.
Tanpa bercermin, Tiara tahu bahwa matanya mulai berkaca-kaca. Kilau di ujung mata terasa meruyak ke dalam dadanya.
“Engkau ingin kita putus? Seperti yang telah kau utarakan kemarin?” pertanyaan Rozy mengejar.
Bahu Tiara diguncangnya.
Tiara merasa sudah tak perlu lagi menjawabnya. Senja sehari sebelumnya, ia telah menumpahkan segala isi hati, tumpah ruah: tentang ketakutannya atas arah hubungan mereka.
Getir suara Rozy berbisik padanya,”Biarkan Sisyphus.”
Seperti suara penyanyi tenor, memperdengarkan lagu pilu bernada tinggi, bisikan Rozy selanjutnya seakan mengingatkannya kembali pada kisah-kisah yang selalu terasa baru buat Tiara, yang didengarnya setiap kali Rozy bertandang ke rumahnya.
Sisyphus, manusia dalam mitos Yunani kuno, yang menerima azab dari dewa, membawa batu ke puncak hanya untuk melihat batu itu menggelinding kembali ke bawah, ke tempatnya semula. Maka Sisyphus pun ikut menuruni bukit, untuk membawa batu raksasa tersebut kembali ke atas. Perbuatan tersebut terus berulang, seakan tanpa henti.