Mohon tunggu...
yuliasih wahab
yuliasih wahab Mohon Tunggu... -

I'm a psychology student at universitas YARSI

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Let It Go (Not About Frozen From Disney)

10 Februari 2015   06:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:30 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya teringat  salah satu tulisan penulis favorit saya, Bang Tere Liye, kurang lebih begini buNyi tulisannya : Jika kita berhenti memperjuangkan sesuatu untuk tetap dipertahankan, berarti sesuatu itu tidak benar-benar berharga. Jadi, esok lusa jangan menyesal, karena toh itu memang tidak berharga.  Sesederhana itu pemahaman tentang berhenti memperjuangkan yang saya artikan melepaskan, let it go, kata Bang Tere, entah itu sepenuhnya benar atau salah, atau setengah benar dan setengah salah.

Terkait dengan masalah lepas-melepas, saya pernah merasakan pengalaman dengan berjuta sensasi rasa itu. Sekitar 1 atau 2 tahun yang lalu, saya melepaskan seseorang yang sebenarnya (mungkin) sangat saya harapkan.  Entah Bang Tere benar atau salah tentang melepaskan itu, yang jelas saya pernah mati-matian berjuang untuk sesuatu, seseorang tepatnya,  dan pada akhirnya saya lelah dan menyerah untuk tetap bertahan ‘menggenggamnya’. Apakah saya melakukannya karena dia tidak benar-benar berharga? Entahlah. Saat itu saya melepaskannya karena saya sudah terlalu lelah. Saya merasa sendiri dalam mempertahankan hubungan, dimana seharusnya ada dua orang yang memiliki usaha yang sama besarnya untuk sama-sama bisa bahagia bersama. Anehnya, dia juga merasa berjuang sendirian. Mungkin saya dan dia sama-sama berjuang, tapi dengan cara berbeda atau malah untuk tujuan yang berbeda.

Lantas ketika saya memutuskan untuk berhenti, siapa yang bisa disalahkan? Saya sakit hati, dia mungkin saja lebih sakit hati. Takdir? Ah, terlalu basi, tidak bisakah percaya bahwa Tuhan itu tidak pernah salah? Lalu siapa yang salah? Tidak ada sepertinya. Pada akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti karena saya sadar bahwa ada sesuatu yang lebih berharga, kebahagian saya sendiri. Itu bukan berarti dia tidak berharga, tentu saja dia sempat sangat berharga bagi saya. Tapi, terlalu banyak harga yang saya harus bayarkan untuknya, sampai-sampai saya lupa untuk menjadikan diri saya berharga. Bukan berarti dia memperlakukan saya dengan tidak baik, dia baik, kelewat baik malah terkadang, hanya saja bagi wanita baik saja tidak cukup. Wanita butuh banyak hal dari laki-laki untuk bisa benar-benar bahagia, baik saja masih terlalu umum. Bukannya  wanita tidak mudah bersyukur, tapi pada akhirnya wanita akan bergantung pada lelakinya untuk kebahagian hidup dunia-akhirat, makannya butuh sosok laki-laki luar biasa yang bisa menjamin segala sesuatunya akan terus baik-baik saja, atau setidaknya segala masalah yang tidak baik-baik saja tetap dapat diatasi selama dia ada. Kebanyakan wanita pasti sebenarnya menginginkan laki-laki seperti Ayahnya, bukan? Termasuk saya.

Jadi, saya memutuskan berhenti karena saya sadar kebahagian saya sangat berharga dan dia tidak bisa membayarnya:)

Bang Tere bisa jadi benar atau salah, tergantung bagaimana pemahaman kita ketika mengalami kejadian ‘lepas-melepas’. Saya akan sedikit menambahkan tulisan Bang Tere : Jika kita berhenti memperjuangkan sesuatu untuk tetap dipertahankan, berarti sesuatu itu tidak benar-benar berharga atau kita mulai sadar ada sesuatu yang lainnya yang lebih berharga dan menunggu untuk segera diperjuangkan, karena kita tidak bisa memperjuangkan dua hal sekaligus dalam satu waktu. Jadi, esok lusa jangan menyesal, karena toh itu memang tidak berharga atau karena memang kita sudah memutuskan untuk memilih satu diantara yang lain.

Terakhir, saya bisa saja salah memahami tentang lepas-melepas. Tapi, setidaknya ketika saya sadar bahwa saya salah, maka saya sedang dalam proses belajar untuk menjadi benar atau setidaknya tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama:)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun