Mohon tunggu...
Yuli Ika Lestari
Yuli Ika Lestari Mohon Tunggu... Guru - Ibu Guru

Ibu guru yang suka melihat murid-muridnya tertawa, mengutak-atik resep, serta menyukai sejarah dan kajian budaya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menculik Seniman ke Ruang Kelas

26 Mei 2022   11:47 Diperbarui: 26 Mei 2022   11:50 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

 Pendidikan dewasa ini banyak diliputi isu tentang memerdekakan  manusia untuk belajar dengan menyelaraskan dengan nature  yang dimilikinya. Keselarasan atas manusia sebagai makhluk sosial dan berbudaya itu adalah salah satunya.  Budaya adalah salah satu identitas yang melekat  pada diri manusia Indonesia dan tentu menjadi modal luar biasa dalam pendidikan.  Itulah sebabnya pendekatan pendidikan dengan titik tolak kemerdekaan belajar dari lingkunan alam, social dan budaya ini menjadi cita-cita ideal yang harapannya tentu dapat dipetik hasilnya dalam sekian tahun ke depan.

Dahulu pun, nenek moyang kita tanpa institusi formal bernama sekolah, telah meletakkan pendidikan berbasis kesadaran atas budaya sebagai bagian dari kehidupan  yang mereka yakini.  Dahulu para ibu akan  memastikan anak gadisnya mampu mengenali ragam  jenis rempah dengan turut memasak bersama. Kini anak gadis manusia modern  menemukan ragam  rempah dari lembar buku pelajaran  ilmu alam lengkap dengan gambar dan spesifikasi genus serta spesiesnya.   Betapa jauh jarak pengalaman yang dialami oleh  generasi tersebut.

 Hal serupa juga terjadi dalam  konteks pemaknaan dan penghayatan kebudayaan. Manusia modern makin memarginalisasi budaya lokal, pelaku budaya dan masyarakat pemilik kebudayaan  ke sisi paling tidak populer dari aspek peradaban modern.  Menyaksikan pertunjukan wayang tentu tak lagi ada di hajatan tetangga, bahkan  menyaksikan bocah berlarian bermain engklek, hingga kuda-kudaan pelepah pisang adalah kemewahan di era serba digital ini. Wayang, tari-tarian, hingga ragam upacara adat adalah sebagian kecil unsur kebudayaan yang kini berpindah konteks dari bagian hidup menjadi tontonan dan dipajang di etalase-etalase pameran atau perhelatan semata.

Pendidikan kini jadi satu-satunya harapan akan pelibatan secara kontekstual bahwa kebudayaan akan hadir setidaknya di ruang belajar sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pemahaman atas jati diri generasi bangsa yang mewarisi kekayaan budaya Indonesia yang  tentunya sangat luar biasa.

Budaya daerah yang sedang kita upayakan kelestariannya ini bukanlah hal yang asing. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari tatanan sosial, tatanan nilai dan bahkan membentuk pemahaman atas manusia dengan semestanya. Pelaku budaya yang masih mencoba melestarikan budaya ini pun nasibnya tak kalah pelik. Berbagai fakta tentang keras dan sulitnya kehidupan seniman daerah makin nyata sejak pembatasan aktivitas publik di kala seluruh dunia terpukul oleh pandemic Covid 19. 

Memang benar bahwa pemerintah telah memberikan sejumlah program penguatan dan dukungan untuk mencapai resiliensi khususnya bagi pelaku budaya dan pegiat seni.  Sebut saja bantuan bagi 59 ribu pelaku budaya, Gerakan Seniman Masuk Sekolah (GSMS) yang semua itu tentu bermuara pada tujuan positif yakni mendekatkan generasi bangsa pada wujud asli kebudayaan lewat pelibatan para seniman. Akan tetapi,sebagaimana program yang sifatnya top down, pelaksanaan semua program itu tentu memerlukan dukungan di level bawah.

Kondisi di daerah tidak seideal yang direncanakan dalam program. Kebudayan yang dikemas sebagai sebuah proyek mercusuar atau bahkan dikemas sebagai sajian ekslusif dengan dana fantastis  di kelas-kelas akan makin tidak mengena. Belum lagi tentang keterbatasan anggaran penyelenggaraan kegiatan tersebut yang memaksa pemangku kebijakan membatasi daerah sasaran dan pihak yang terlibat di dalamnya.

Prinsip budaya adalah urat nadi manusia harus dipegang teguh dan dihayati.  Sebagai bagian dari kehidupan, maka kelas-kelas dapat menempatkan budaya dan pelakunya menjadi salah satu rujukan wajib dalam menyelenggarakan pembelajaran yang sesuai konteks di masyarakat. Itulah mengapa perlu 'menculik' seniman ke ruang kelas sebagai bentuk nyata pelibatan budaya dalam pendidikan.

Kelas berbudaya bukan milik kelas seni semata. Pendidikan harus menempatkan budaya dan apresiasi terhadapnya sebagai bagian tak terpisahkan. Di kelas seni tentu wajar jika para generasi bangsa mempelajari seni tari dari penari tradisional , tetapi akan sangat luar  biasa jika di kelas matematika, mereka belajar menghitung luas panggung tari, di kelas bahasa Indonesia mereka membuat proposal pertunjukan tari di desanya, bahkan di kelas sejarah mereka mengulas sejarah terciptanya tari tersebut. Seniman pembuat angklung, misalnya,  akan menyemarakkan kelas dengan alunan angklungnya, bahkan suatu ketika pun bocah-bocah di Jawa dapat membuat noken dari Papua.

Menyaksikan peluang kemungkinan tersebut tak berlebihan jika kebudayaan sangat layak untuk dijadikan aktor utama yang mengisi kelas-kelas. Menjadi agenda yang sama pentingnya dengan tujuan membuat anak bangsa maju dalam teknologi dan bersaing di kancah dunia.  Bukankah landasan luhur pendidikan dalam UU NO 20 Tahun 2003  pasal 1 ayat 2, adalah Pancasila, UUD 1945 dan nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan mampu tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

Kelas sejatinya adalah panggung yang memberi ruang pada hal-hal baik dan bernilai untuk disajikan pada generasi penerus bangsa. Dengan mulai  'menculik' seniman ke ruang-ruang kelas, maka budaya akan mendapat tempatnya dan berkolaborasi positif dengan prose pedagogis yang sedang berlangsung.  Maka layak bila seniman daerah diberi ruang untuk mendekat pada penikmat seni dan budaya di kelas-kelas. Maka mata-mata polos bocah itu bisa jadi akan takjub dengan dongeng kancil dari wayang kontemporer, mereka akan merasa hebat saat mampu membuat sebuah tenunan, misalnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun