Pagi itu di Rumah Sakit Graha Sandika Lee terbaring lemas.
Seberkas warna putih terang menyilaukan, menembus celah mata Lee yang mulai perlahan terbuka, badanya terasa lemas begitu pula dengan kepala yang masih terasa berat. Sembari mengumpulkan serpihan memori ingatannya sebelum jatuh pingsan, dia menyapu seluruh ruangan mencari tau dimana keberadaannya sekarang.
Di sebelah kanannya, Zilong duduk telungkup di pinggir ranjang, tangan kiri menopang kepala yang tergolek lemas, sedangkan tangan kanan menggenggam erat tangan kirinya. Secuil senyum bertengger di bibirnya, menyadari kekawatiran sahabatnya atas kondisi yang dialamin barusan. Kemudian matanya bergerak mencari keberadaan Donald, namun tak jua ditemukan.
Mungkin dia sudah pulang
Sesaat kemudian terdengar suara pintu dibuka, seorang lelaki setengah baya muncul dari baliknya, dia memakai jas putih dengan stetoskpo mengantung di lehernya dan tensiometer di tangan kanannya. Dia melangkah masuk mendekat dan tersenyum pada Lee.
“Sudah bangun Lee. bagaimana kepalamu, masih pusing?” tanya lelaki sembari menyentuh kening Lee lembut.
“Sedikit Om, Makasih bantuannya.” kata Lee masih lemas.
“Zilong…”
“Biarkan istirahat dulu, semalam dia terjaga mengkhawaritkan keadaan mu.” kata lelaki itu sembari melingkarkan sfigmomanometer ditangan kanannya. Lee merespon dengan anggukan.
Tak lama kemudian tampak tubuh Zilong bergerak-gerak lembut, dengan mulut mungil menguap lebar menyerap udara yang dialirkan masuk ke paru-paru, punggungnya mengeliat merenggangkan otot-otot yang terasa kaku akibat posisi tidur yang tak tepat. Zilong mengangkat kepalanya dan Mengusap matanya sambil menatap Lee.