Pentingnya membaca dan menulis
Masih sering terdengar kalau minat baca orang Indonesia itu rendah yakni berada diperingkat 51 dari 52 negara di dunia menurut Unesco.
Kalau berpikir akan hal itu, rasanya hati ini seakan runtuh luluh lantak tak karuan. Terlebih lagi bagi saya sebagai penggiat literasi di Grobogan, yang sedang giat-giatnya mengkampanyekan tentang pentingnya budaya literasi (Baca-tulis).Â
Sebenarnya penting tidak sih apa yang saya lakukan ini? Sebagian orang mencoba meremehkan dengan apa yang saya lakukan selama ini. Dipandang sebelah mata, dianggap gila bahkan tak jarang sering mendapatkan kata-kata yang bisa dikatakan masuk dalam kategori bullying. Tapi apa pedulinya saya pada omongan-omongan itu? Saya anggap itu semua layaknya "Anjing menggonggong kafilah berlalu". Sadiiss...
Justru dengan omongan-omongan itu, saya jadikan sebagai motivasi untuk menjawab semuanya. Dalam hitungan kurang dari satu tahun saya sudah bisa mengumpulkan lebih dari dua ribu judul buku dengan berbagai genre. Itu semua tidak mudah, butuh perjuangan dan kerja keras. Mulai dari menyisahkan sisa gaji saat masih bekerja sebagai pustakawan dulu, mengikuti berbagai lomba resensi buku yang berhadiah buku, menyisihkan sebagian honor setelah selesai mengisi acara. Aahh... Perjuangan banget pokoknya. Kalau diceritakan panjang kali lebar dan bisa jungkir balik pengen nangis.
Dan setelah sekian purnama berlalu, saya mulai yakin bahwa bukan minat bacanya yang rendah, melainkan ketiadaan buku bacaan, tidak meratanya buku bacaan hingga di daerah pelosok, tidak terjangkaunya harga buku serta tidak adanya pembiasaan baik untuk membaca dan menulis.
Ya wajar saja minat bacanya rendah, buku bacaannya susah untuk di dapatkan, karena kebanyakan terpusat di daerah kota saja. Kalau saja bukunya bisa merata dan bisa dirasakan sampai ke desa-desa di pelosok, pasti akan sangat terasa manfaatnya. Belum lagi harga buku yang selangit, terlebih bagi para orangtua yang berpenghasilan pas-pasan.
Bagaimana mau membeli buku untuk dibaca anak-anak kalau saja harga buku tidak terjangkau, pasti mereka berpikir lebih baik untuk membeli bahan makanan. Kalaupun bisa membeli buku, mereka akan membelikan buku yang harganya murah dan terjangkau dengan kualitas buku yang biasa.
Belum lagi tidak adanya pembiasaan baik untuk membaca dan menulis. Ya wajar saja, orangtua sibuk bekerja di sawah dari subuh sampai petang menjelang. Otomatis waktu berkumpul bersama anak-anak berlangsung di malam hari.
Sementara malamnya, orangtua sudah merasa lelah karena seharian bekerja di sawah. Akhirnya, anak-anak mereka belajar atau tidak bukan menjadi sebuah keharusan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H