Dalam literatur ilmu politik, mahasiswa merupakan salah satu aktor yang dapat digolongkan ke dalam kelompok penekan. Mahasiswa merupakan aktor penting dalam perubahan-perubahan sosial dan politik. Sejarah perubahan politik besar di negeri ini selalu diwarnai oleh peran mahasiswa yang sangat menonjol. Mahasiswa, sebagai kelompok intelektual dan wakil dari kelompok anak muda dari warga, secara naluriah memiliki tingkat kepekaan yang tinggi pada persoalanpersoalan sosial di sekitarnya. Tak heran Bung Karno pernah berujar, "Sediakan aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia!".
Mahasiswa memang bukan aktor politik yang terlembaga secara mapan. Di samping itu, unsur-unsur kekuatan politik mahasiswa tidak ajeg karena mahasiswa selalu datang dan pergi dengan hal baru dari satu generasi ke generasi berikutnya. Konsistensi gerakan mahasiswa sangat longgar dan tergantung pada pola kaderisasi di lembaga-lembaga kemahasiswaan. Di samping itu, kekuatan politik mahasiswa juga sangat rentan pada fragmentasi ideologi gerakan, dari ujung Kiri hingga ujung Kanan. Kemapanan ideologi gerakan juga ditentukan oleh tradisi yang tumbuh pada masing-masing universitas. Dengan demikian, mahasiswa sebagai kekuatan politik memang menyisakan persoalan soliditas gerakan.
Kelompok- kelompok mahasiswa yang belajar di Fakultas Hukum lebih mudah mengaplikasikan hal ini. Namun mereka tak dapat bekerja soliter. Mereka harus membangun jejaring dan sinergi dengan mahasiswa dari berbagai fakultas untuk melakukan tinjauantinjauan kritis-akademik terhadap berbagai UU atau RUU yang sedang dibahas di DPR RI untuk memastikan bahwa regulasi yang telah atau sedang disusun oleh lembaga legislatif itucomplay dengan norma dan prinsip HAM. Kemudian hasil telaah kritis-akademik itu disebarkan, didialogkan, dan dikampanyekan ke lembagalembaga yang relevan (Komnas HAM, DPR, MK) dan jejaring HAM yang dibentuk. Model gerakan semacam ini lebih elegan dan strategis, namun hingga kini belum dilakukan secara massif dan terorganisir oleh kelompok-kelompok dan gerakan mahasiswa pada umumnya.
Model ini sesungguhnya dapat menjadi alternatif dari gerakan parlemen jalanan yang cenderung lebih reaksioner, temporer, sporadis, dan kurang menusuk pada akar persoalan. Model ini memang tidak populer dan tidak menarik perhatian media. Namun model gerakan semacam ini lebih strategis karena bekerja untuk perubahan-perubahan mendasar pada tingkat pola (kebijakan) dan struktur (lembaga, ideologi, kultur, dan nilai).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H