Mohon tunggu...
Yulia yusuf
Yulia yusuf Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati pendidikan dan penikmat sastra

guru

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Hebatnya Menjadi Seorang Penulis, Bisa jadi "Tuhan" dan Hidup Abadi

23 Agustus 2016   23:58 Diperbarui: 4 April 2017   18:31 3919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menulis adalah mengabadikan sesuatu. Sedangkan tulisan adalah artefak yang kita buat dari apa yang terjadi atau apa yang kita pikirkan. Semua orang sejatinya adalah penulis. Media sosial dan internet saat ini berkontribusi besar membentuk seseorang menjadi penulis. Setidaknya menjadi penulis status akun sosialnya masing-masing. 

Bagaimana kita tidak menjadi penulis, bila tiap kali membuka FB dan BBM, pertama yang kita baca adalah: “Apa yang anda pikirkan?” Tangan ini rasanya gatal kan, bila tidak menjawab pertanyaan dari si kepo FB dan teman-temannya itu? Maka yang terjadi berikutnya adalah menarilah jemari kita di atas keypad untuk sekadar menuliskan apa yang kita pikirkan. Dan tanpa kita sadari, kita telah menjadi seorang penulis. 

Masing-masing orang mempunyai alasannya sendiri mengapa menulis, pun demikian dengan saya dan Anda. Saya adalah penulis pemula yang masih belajar meracik kata menjadi kalimat yang bercita rasa. Saya juga tidak membatasi tulisan saya, kadang bila ingin berimajinasi, maka yang saya tulis adalah cerita rekaan fantasi.

Tapi bila otak saya ingin sedikit serius, maka yang saya tulis adalah artikel ilmiah dan sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan saya sebagai cik gu. Tapi terkadang bila otak saya sedang malas menelisik ide yang kadang jual mahal tidak ingin menampakkan batang hidungnya, maka tulisan saya hanya berupa postingan status di medsos yang absurd keilmiahannya.

Bila Anda bertanya pada saya satu tahun yang lalu,“Mengapa saya menulis?”, maka hal pertama yang saya lakukan saat itu mungkin menggaruk kulit kepala saya yang tidak gatal, karena saya tidak tahu jawaban pastinya. Saat itu, saya menulis ya karena saya ingin menulis. Memang sesederhana itu alasan saya. Tetapi bila sekarang Anda bertanya pada saya dengan pertanyaan yang sama, maka ada beberapa jawaban yang akan saya berikan, di antaranya adalah

  • Saya Menulis untuk Kepuasan Batin Saya
    Jiwa dan imajinasi saya liar, selalu ingin mengembara menemukan muaranya. Dan rajutan kata adalah ejakulasi dan muara penampung liarnya arus imaji di otak saya.

  • Saya Ingin Tetap Abadi, Terus Hidup Walaupun Sudah Mati Nantinya 
    Jasad ini boleh terkubur dan lebur dalam tanah, tetapi ide, imajinasi, hasil pikiran saya akan hidup abadi bersama karya-karya yang pernah saya tulis. Sahabat, saudara, anak, cucu dan tetangga bisa terus menikmati pikiran-pikiran saya walaupun jasad ini sudah dalam tanah. Bahkan mungkin orang-orang yang membenci sewaktu saya masih hidup akan dihantui ruh saya yang ada bersama tulisan-tulisan saya.

  • Saya adalah Manusia Lemah
    Saya adalah manusia lemah, hanya pelaku dari mega skenario yang telah Tuhan gariskan pada semesta. Sementara bisikan iblis yang berupa kejahatan, ketidakadilan, belenggu sosial, kenestapaan kaum papa dan penderitaan cinta seolah membuat nafsu saya bangkit untuk menjadi Tuhan atas dunia kecil yang saya ciptakan sendiri. Dengan menulis, saya bisa menciptakan dunia dan menjadi raja diraja sekaligus menjadi Tuhan yang menggariskan takdir atas manusia-manusia ciptaan saya. Wow!!

    Saya baru sadar ternyata penulis adalah orang yang sakti ya. Bagaimana tidak sakti bila penulis berkuasa untuk mempermainkan kehidupan orang di bawah kendali pikirannya. Bagaimana penulis tidak disebut orang yang wingit_ sakti. Jawa, bila ujung penanya bisa lebih tajam dari bareta, karena rajutan katanya bisa mengoyak belenggu tradisi. Bahkan untaian kata penulis lebih mematikan dari desing peluru Klashikov AK 47 yang dapat mendobrak tirani, menyuarakan keadilan dan berteriak lantang untuk kenestapaan kaum jelata.

    Senyampang itu, rima dan diksi kata yang diciptakan penulis, selaksa irama surga yang didendangkan biduan dalam sebuah pesta perayaan cinta. Menghanyutkan, menenggelamkan, meninabobokkan para pemuja cinta. Kata-kata penulis terkadang menjadi obat atas penyakit hati kronis yang diderita sang pecinta dunia. Tapi juga bisa menjadi candu sekaligus racun mematikan bagi jiwa-jiwa yang kosong akan nilai kebajikan.

Menarik sekali menjadi seorang penulis bukan?

Selain beberapa alasan yang sudah saya paparkan sebelumnya, ada alasan lain yang membuat saya terus menulis, yaitu:

  • Demi Uang
    Bukan manusia bila tidak ingin harta dan bukan orang bila tidak menginginkan uang. Saya tidak termasuk dalam golongan munafik yang menafikan uang dalam karya saya.

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
    Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun