Mohon tunggu...
Yulia Rahmawati
Yulia Rahmawati Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa FISIP Universitas Airlangga Surabaya

Menulis adalah salah satu cara mengabadikan ingatan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menilik Kegiatan Derep Pari yang Mulai Kehilangan Eksistensinya di Masyarakat Pedesaan

3 Juli 2023   10:00 Diperbarui: 3 Juli 2023   10:02 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source : https://karanggedang.kec-sruweng.kebumenkab.go.id/

Derep pari merupakan istilah yang populer di masyarakat Jawa. Derep pari merujuk pada kegiatan memanen padi secara bersamaan. Derep pari biasanya dilakukan oleh beberapa orang yang secara bersama-sama memanen padi milik sendiri atau bekerja untuk memanen padi orang lain. Upah yang didapatkan dari derep bukanlah uang melainkan bawon. Bawon adalah bayaran atas hasil yang diberikan kepada para pekerja derep berupa hasil panen tersebut yakni gabah. Bawon merupakan sistem upah yang berbasis tradisional dimana dengan adanya bawon buruh tani dapat memperoleh upah berupa sebagian dari hasil panen.[1] Pada umumnya jumlah upah bawon dihitung berdasarkan hasil panen. Berdasarkan informasi yang didapat dari salah satu petani di Desa Jalen Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo jumlah bawon dihitung per 8 kuintal. Jika hasil panen sebesar 8 kuintal maka bawon yang diberikan kepada pekerja derep sebesar 1 kuintal dan berlaku kelipatan. Satu kwintal tersebut kemudian dibagikan kepada seluruh pekerja derep yang dipekerjakan.                                  

Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi yang semakin modern eksistensi kegiatan derep ini mulai menunjukkan keusangannya. Hadirnya teknologi  canggih berbasis internet of things (IoT) di bidang pertanian sedikit banyak telah mengubah cara petani untuk meningkatkan produktivitasnya. Salah satu teknologi yang kini tengah memasuki pertanian adalah alat pemanen padi yang disebut dengan combine harvester. Mesin canggih ini merupakan salah satu alat pertanian yang diproduksi oleh PT Pindad (Persero) yang memiliki fungsi untuk memanen padi sekaligus memasukkan hasil panen langsung ke dalam karung. Mengutip dari Liputan 6 (2022)  combine harvester adalah mesin yang  digunakan untuk memanen tanaman serealia termasuk padi. Sesuai dengan namanya yakni combine, mesin ini menggabungkan tiga operasi yakni menuai, merontokkan, dan menampi yang dijalankan dalam satu rangkaian operasi [2].    

Kemunculan combine harvester tentu membawa pro dan kontra di dalam masyarakat. Mereka yang pro  biasanya adalah petani yang memiliki lahan pertanian dengan tujuan ingin menekan biaya panen. Menurut keterangan salah satu petani di desa Jalen Kabupaten Ponorogo bahwasannya memanen dengan menggunakan combine harvester juga jauh lebih menguntungkan dikarenakan mereka hanya perlu membayar 250 ribu per kotak untuk hitungan orang Jawa atau sekitar 250 ribu per 1.400 m2. Sedangkan jika dihitung biaya yang harus dikeluarkan untuk mempekerjakan pekerja derep jauh lebih besar. Biasanya pemilik sawah akan menanggung makan dan minum pekerja derep selama proses panen berlangsung. Tidak hanya makan, pekerja derep juga biasa disuguhkan kopi dan rokok. Untuk selanjutnya petani pemilik sawah juga harus membayar bawon untuk upah para pekerja. Hal tersebut dinilai lebih banyak mengeluarkan uang sehingga banyak warga lebih memilih untuk menggunakan mesin. Di sisi lain pihak yang kontra terhadap inovasi ini biasanya mereka yang berprofesi sebagai buruh tani. Combine menggeser posisi buruh tani untuk memanen padi sehingga mereka kehilangan pekerjaan. Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi yang semakin canggih bidang pertanian pun turut mengalami perubahan. Sehingga kegiatan memanen yang awalnya padat karya perlahan mulai tergantikan oleh mesin.              

Selain dengan munculnya teknologi combine harvester yang mampu menekan biaya panen di sisi lain eksistensi derep juga dipengaruhi oleh generasi muda yang tidak mau terjun ke dalam pertanian. Berdasarkan hasil riset oleh Jakpat Survey [3] bidang pertanian tak lagi menarik bagi anak muda, khususnya bagi generasi Z. Beberapa alasan mereka tidak mau menggeluti dunia pertanian adalah tidak adanya pengembangan karier, penuh risiko, pendapatan kecil, tidak dihargai, dan tidak menjanjikan. Data ini juga diperkuat dengan wawancara dengan salah satu anak muda di Desa Jalen Kabupaten Ponorogo yang menyebutkan bahwa menjadi petani tidak sejahtera dan hasilnya tidak sebanding dengan kerja kerasnya sehingga mereka lebih memilih untuk bekerja di luar bidang pertanian. Menurut keterangan Ibu P selaku warga desa Jalen dan juga petani di desa tersebut mengatakan bahwa anak muda di desanya cenderung lebih suka bekerja sebagai TKI di luar negeri karena dinilai lebih menjanjikan.

                                             
Dengan hal tersebut para pekerja derep setiap tahun juga mengalami penurunan. Pekerja derep biasanya diisi oleh para orang tua sehingga proses panen lebih lama mengingat kecepatan orang tua dan anak muda tentu berbeda. Adanya hal tersebut membuat mereka pemilik sawah memilih untuk menggunakan alat canggih. Tidak hanya itu, faktor cuaca juga turut mempengaruhi menipisnya pekerja derep setiap musimnya. Pada area persawahan tidak ada sedikitpun tempat yang sejuk dan rindang. Umumnya sawah berkesan panas karena sawah adalah area terbuka yang langsung terkena oleh sinar matahari. Sehingga cuaca panas ini kerap membuat para pekerja derep malas berlama-lama di tengah terik matahari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun