Bulan Juli dua hari setelah bertambahnya usia gadis 21 tahun ini, tidak pernah terpikirkan bahwa titik terendah dalam hidup akan datang dengan cepat. Usia yang kuanggap masih sangat belia, rasanya tidak terlalu sanggup aku untuk menopangnya. Hidup pada pusaran keterbatasan membuat aku semakin yakin sosoknya sangat aku butuhkan. Mendung datang di pagi hari, kala aku berniat memulai hari nyatanya takdir membawaku pada kenyataan lain. Sesosok orang yang dahulu tak begitu aku pahami kini pergi menemui Illahi. Padanya tidak pernah aku mengatakan sayang, pun tidak pernah mengatakan cinta. Sesosok yang kini baru kusadari betapa pentingnya dalam hampir seluruh perjalanan kisahku. Dia yang seakan tak peduli sekitar nyatanya adalah orang yang paling depan memperhatikanku diam-diam. Entah kebaikan apa yang ia lakukan sehingga orang-orang datang berbondong-bondong mendoakan sambil menangisi kepulangannya. Orang tuanya, istrinya, kakaknya, adiknya, keponakannya, sahabatnya, tetangganya, dan aku anaknya. Mungkin terkesan aku merasa orang yang paling menderita sejagad raya. Namun, memang itulah keadaannya. Aku tidak pernah bisa membendung air mata saat orang-orang membicarakannya atau saat aku mengenang kebersamaan kami yang dahulu tidak terlalu aku hargai. Tidak pernah sekali aku benar-benar tegar walau mati-matian aku berusaha mengiklhaskan. Memang bukan hanya aku yang telah kehilangan seorang lelaki yang pertama kali mengenalkanku kepada pencipta saat aku menangis setelah ibu membantuku lahir di dunia. Namun, aku tidak pernah membayangkan sedikitpun kehilangan yang benar-benar hilang. Sehingga saat peristiwa itu datang aku sama sekali tak memiliki persiapan. Tertatih aku bangkit dan berusaha meyakinkan ibu bahwa kami mampu menjalani perjalanan walau tanpa sosoknya. Bapak. Iya dia adalah seorang bapak. Lelaki sederhana yang tidak memiliki banyak kemulukan mimpi. Cukup menjadi orang baik dan dicintai banyak orang adalah kebahagian baginya. Tidak aku pernah temui ia mengajari aku keburukan. Memang tidak pernah ia tunjukkan kepeduliannya dan baru kusadarai setelah kepergiannya. Jika aku diberikan satu permohonan maka akan aku sebutkan dengan cepat dan tanpa banyak pertimbangan. Aku ingin mengulang kebersamaan. Supaya ketika masa ini diulang aku banyak mengucapkan kata sayang padanya, merasakan kepeduliannya, dan mengucapkan bahwa aku takut kehilangan dia. Selamat jalan Bapak. Maafkan aku yang belum sempat mengubah nasib kita. Maafkan aku yang sering membuatmu berpikir bahwa kau gagal mendidikku. Pak, aku mencintaimu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H