Mohon tunggu...
Muhlis Yulianto
Muhlis Yulianto Mohon Tunggu... -

simple,serius

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kecerdasan Pemimpin

26 September 2014   02:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:30 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14116492611276613114

RASULULLAH SAW bersabda: Kullukum ro’in wakullukum masulun ‘an ro’iyyatihi. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya (Hadis). Oleh karena itu, kita semua berkepentingan untuk menjadi pemimpin yang sukses, dalam lingkup  pribadi, pemimpin domestik sebagai kepala rumah tangga, maupun pemimpin publik.

Salah satu faktor penentu untuk sukses menjadi pemimpin adalah dengan memiliki kecerdasan emosi (emotional intelligence) yang baik. Menurut penelitian, kecerdasan intelektual (IQ) hanya memberikan andil tak lebih dari 25% bagi keberhasilan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya. Riset lain, hanya memberikan 10%, dan bahkan ada yang memberikan 4% pada IQ. Sisanya yang 75% lebih, salah satu faktor penentunya adalah kecerdasan emosi.  Kecerdasan emosi (EI) terbagi menjadi dua bagian besar, yakni pertama, EI untuk diri sendiri, antara lain: mengenali diri sendiri, mampu mengendalikan jiwa, bertanggung jawab, menghormati diri sendiri, dan lain-lain. Kedua EI untuk orang lain, di antaranya adalah empati pada orang lain dan mampu bekerja sama dengan orang lain.

Seorang pemimpin haruslah mampu mengelola dan mengendalikan emosinya,   pemimpin yang memiliki jiwa yang tenang. Seorang pemimpin haruslah menyikapi segala sesuatu dengan bijak dan tenang sehingga dapat mengambil langkah-langkah yang tepat dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul. Seorang pemimpin tidak boleh cepat terbakar emosinya sehingga menyikapi segala sesuatu dalam keadaan marah.

Pemimpin yang dirasuki nafsu amarah, akan menjadi pendendam sehingga mengeluarkan kebijakan yang menzalimi orang lain. Karena nafsu amarah mendorong untuk melakukan kejahatan.  Di awal tulisan ini, disebutkan semua kita/pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban. Dengan demikian berarti setiap kita, apa pun peranannya, pasti memiliki sumbangsih terhadap sebuah keberhasilan maupun kegagalan. Rasa tanggung jawab akan melahirkan sikap untuk mengerjakan apa pun yang diamanahkan kepadanya dengan sebaik mungkin. Juga siap memperbaiki jika ada kegagalan. Karena pertanggung jawaban bukan hanya di mata manusia tapi juga di hadapan Allah swt.

Pemimpin yang baik adalah yang tidak lari dari tanggung jawab. Pemimpin yang baik adalah yang mau bertanggung jawab baik atas keberhasilan maupun sebuah kegagalan. Pemimpin sejati bukanlah yang suka mengklaim keberhasilan, tapi tak mau bertanggung jawab jika ada kegagalan.
Pemimpin yang memiliki empati tinggi akan melahirkan keberpihakan bagi kepentingan orang banyak, apalagi kaum yang papa.  Pemimpin yang tidak memiliki empati, cenderung egois, mementingkan diri sendiri, melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri.

Pemimpin yang memiliki empati akan bertindak sesuai dengan hati nurani. Hati nurani yang dibimbing oleh dorongan kebaikan. Setiap kebijakan yang diambil seorang pemimpin yang mengedepankan nuraninya akan selalu memperhatikan kemanfaatan yang banyak kepada semua orang.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menghimpun semua kekuatan yang ada di sekitarnya. Bukan pemimpin yang cuma bisa memamerkan bahwa dirinya hebat dan berkuasa. Kemampuan untuk bekerja sama hanya akan muncul jika seseorang memiliki kecerdasan emosional yang baik. Pemimpin yang menempatkan dirinya sebagai pelayanlah yang akan mampu bekerja sama dengan siapapun. Pemimpin yang mampu melihat setiap potensi positif orang lain dan bersinergi menjadi kekuatan besar.

Paradigma entrepreneur itu jiwanya melayani, memuaskan pelanggan. Kekuasaan itu bukan penguasaan politik tapi wakaf politik.  Jadi bukan untuk jadi penguasa tapi untuk jadi pelayan.  Sikap “bersatu dalam cita dan bersatu dalam karya” dalam melakukan perbaikan disegala bidang dan mewujudkan pemerintah sebagai pelayan masyarakat.  Bukan persoalan gampang memang dalam menyatukan visi dari banyak kepala,  visi pemegangnya harus jelas agar tindakan yang diambil juga jelas.

Posisi pemimpin bukanlah strata sosial  yang ahirnya menjadikan berpikr “I’am the boss”, namun sebagai pemimpin kita harus tanamkan paradigma sebagai pelayan masyarakat. Pemimpin bukan boss tapi dirigen yang membutuhkan harmoni, dukungan dari pemegang alat musik lainnya.  Jika untuk melayani masyarakat harus siap 7 hari dalam seminggu dan 24 jam dalam sehari. Pemimpin bisa datang dan pergi tapi organisasi tetap berlangsung.

Penulis : DR. H. Azasi Hasan, SE. MM , Bankir Bank BUMN, Tokoh Masyarakat Sumenep

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun