Mohon tunggu...
Muhlis Yulianto
Muhlis Yulianto Mohon Tunggu... -

simple,serius

Selanjutnya

Tutup

Politik

Merancang Kabupaten Sumenep Kepulauan Menuju Optimalisasi Masyarakat Bahari

9 April 2015   09:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:21 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Muhlis Yulianto

(Pembina Front Pemuda Madura Kepulauan/FP-MK)

Akhir Juni 2012 lalu, eks-Presiden Sosilo Bambang Yudoyono merumuskan model pembangunan monumental dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Rio+20 di Brasil. Pembangunan berkelanjutan dan pertumbuhan global, sebut SBY dalam orasinya, tidak sekadar berpangku pada pola pembangunan basis lingkungan—yang juga dikenal dengan pendekatan ekonomi hujau (green economy)—saja, tetapi juga tidak melupakan model pembangunan ekonomi biru (blue economy) sebagai grand deasign pembangunan wilayah kelautan.

Secara eksplisit, SBY mencoba memantik ingatan semua pihak untuk kembali mengorek historisitas perjuangan bangsa Indonesia sebagai basis Negara Kepulauan. Pentingnya untuk kembali menanamkan ideologi maritim masyarakat sebagai respon atas menguatnya visi kontinental (kedaratan) an sich. Sebab, selama ini, kebijakan pembangunan oleh pemerintah (baik di Pusat maupun di Daerah) lebih memusatkan perhatiannya pada sektor dan wilayah ekonomi di darat ketimbang di laut yang justru lebih konstributif.

Kenyataan naif bahwa masyarakat kepulauan, sampai kini, masih berkubang kemiskinan dan masih jauh dari taraf sejahtera, memang menjadi pe-er yang mendesak untuk diurai dan dicari solusi. Kekayaan Sumber Daya Alam di kepulauan—baik hayati dan non-hayati, kekayaan biologi yang berniali ekonomi tinggi, sumber enegi terbarukan maupun minyak dan gas bumi, potensi wisata bahari—justru berbanding terbalik dengan realitas kesejahteraan masyarakat. Ini disebabkan, (salah satunya) arah kebijakan pemerintah memandang terpisah dengan pola distribusi tak seimbang antara darat dan pulau.

Menilik Sumenep

Sumenep adalah salah satu kabupaten di Madura yang memiliki keunikan dan karakteristik yang eksotis ketimbang kabupaten lain. Tak ayal, eksotisitas inilah yang membawa Sumenep sebagai 50 daerah terkaya di Indonesia, berdasar dari beragam sektor, dengan urutan ke-31 versi majalah warta Ekonomi 2012. Sumenep juga dikenal sebagai daerah penghasil migas yang tersebar di beberapa pulau. Saat ini, ada sekitar 8 lebih perusahaan migas yang melakukan eksploitasi dan 2 perusahaan yang masih dalam tahap eksplorasi.

Kekayaan Kabupaten Sumenep, secara geografis, memang banyak terletak di daerah kepulauan, seperti Migas, potensi kelautan, wisata bahari, dan banyak lagi. Dalam pada itu, berdasarkan hasil sinkronisasi Luas Wilayah Kabupaten, Sumenep merupakan wilayah yang memiliki sekitar 126 pulau, yakni 48 (38%) pulau berpenghuni dan 78 (62%) yang tidak berpenghuni. Bahkan, daerah kepualaun menjadi penyumbang terbesar dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun yang menjadi soal, kenyataan kehidupan masyarakat di kepulauan masih tercatat miskin dan jauh dari taraf hidup sejahtera.

Akses pendidikan, informasi dan komunikasi, sarana dan prasarana, jaminan kesehatan dan keamanan, serta pendapatan masyarakat kepulauan di Sumenep masih sangat minim. Ini sebenarnya sebagai konsekuensi logis atas tidak meratanya kebijakan pembangunan yang hanya terfokus pada model pembangunan darat (Land Based Development) daripada model pembangunan kepulauan (Ocean Based Development). Apalagi, kepualauan justru menjadi instrumen politik empuk para pemangku kepentingan hanya untuk kemaslahatan pribadi dan

kroni.

FP-MK Menolak Disparitas

Disparitas darat dan pulau dalam sektor pembangunan ini mutlak wajib diubah. Hadirnya lembaga non-pemerintah Front Pemuda Madura Kepulauan (FP-MK) yang concern mengawal dan mengadvokasi kepentingan masyarakat kepulauan memang perlu diapresiasi. Respon progresif FP-MK sebenarnya tergerak atas dasar komitmen membanguan Negara Maritim—seperti pernah dicita-citakan pendiri bangsa—yang tangguh dengan mengoptimalkan kekayaan bahari. Selain itu, FP-MK berusaha menolak beragam diskriminasi pemerintah sebagai corak disparitas yang sebetulnya telah puluhan tahun ditanggung masyarakat kepulauan, khususnya daerah Sumenep.

Setidaknya, kegelisahan pemuda lintas kepulauan ini akan bergerak melalui penetapan orientasi kebijakan basis kepulauan secara khusus dalam peraturan perundang-undangan. Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, misalnya, yang sampai kini masih debatebel dan menyisakan banyak ketimpangan. Keterbatasan kewenangan pemerintah daerah di wilayah pulau serta jangkauan pelayanan yang tidak merata dan parsialistik ini memunculkan wacana pembentukan kewenangan khusus di daerah kepulauan. Kenyataan geografis kepulauan yang memiliki karakter yang berbeda dengan paradigma darat, tentu perlu model kebijakan khusus berbasis kearifan lokal kelautan yang lebih efektif.

Di samping itu, disparitas kebijakan antara darat-pulau pada gilirannya akan menimbulkan konflik sosial, ketimpangan kebijakan, dan pelanggaran HAM. Secara yuridis, Undang-Undang menjamin kesempatan setiap warga negara untuk mendapatkan pelayanan yang tidak diskriminatif, seperti tertuang dalam pasal 28H ayat (2) UUD 45, “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama gunan mencapai persamaan dan keadilan”. Selanjutnya Pasal 28I ayat (2), “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

Atas dasar konstitusi di atas, dan berdasarkan fenomena keberpihakan pelayanan, infrastruktur, dan pemerintahan, maka pembentukan Kabupaten Sumenep Kepulauan menjadi hal ihwal fardlu. Pada konteks ini, keterbatasan kewenangan pemerintah di Sumenep—yang banyak berpusat ke darat—tidak akan berulang dengan membentuk kewenangan khusus kepulauan yang secara terpisah akan mengurus potensi dan pemberdayaan masyarakat kepulauan oleh pemerintah Kabuapaten Sumenep Kepulauan itu sendiri.

Alfred Thayer Mahan (1660-1783) pernah berujar, ”Barang siapa yang menguasai laut akan menguasai dunia”. Apa yang disebut Thayer sebenarnya tidak kosong sejarah. Deklarasi Djuanda 1957 dan UNCLOS 1982 telah menjadi bukti riil perjuangan pahlawan bangsa untuk menjadikan Indonesia sebagai “Bangsa Bahari”. Makanya, pembentukan Kabupaten Sumenep Kepulauan menjadi wajib untuk meneruskan khittah pejuang bangsa, selain untuk meminimalisir kompleksitas persoalan yang dihadapi masyarakat kepulauan saat ini.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun