Ada ungkapan bahwa  sebuah gambar  bisa diibaratkan dengan beribu kata. Demikian juga sebuah lukisan tentu dapat  menjadi  beribu kata.
Lukisan Deon Sutrisno bertajuk "Underwater Family"Â 60 x 80 cm berisi tiga citra Ikan, tepatnya tiga kepala ikan. Satu ikan dengan proporsi lebih besar dibanding dua lainnya. Ikan besar dengan mulut menyeringai ini mampu menumbuhkan kesan ia sedang berbicara atau berkata dengan dua ikan lainnya.Â
Warna coklat putih dan kuning di torehkan disemua tubuh ikan mengesankan memang mereka sekeluarga. Ikan yang paling besar adalah Bapak atau Ibunya sedang yang dua lainnya adalah anak anaknya.Â
Latar belakang yang menggambarkan air diberinya warna gelap yang nyaris hitam menandai kepekatan atau kedalaman airnya. Gambaran yang tepat untuk mengatakan bahwa Citra tiga ikan tersebut adalah sebuah keluarga yang hidup dibawah air dan mereka berpenampilan atau ber-rupa tidak seindah ikan hias yang berharga mahal. Barangkali citra keluarga ikan ini menggambarkan keluarga sederhana yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Kalau kita hanya sampai disini membaca lukisan ini, tentu lukisan Deon hanyalah sebuah potongan berita yang dapat kita temukan di banyak majalah koran atau lainnya. Cerita jamak bahwa ditengah gemerlapnya kota seperti Jakarta kita masih dapat menemukan keluarga miskin yang mungkin saja hidup dikolong jembatan, di sebelah rel kereta atau bahkan di dalam sebuah gerobak yang diparkir dibawah pohon.
Keluarga super miskin seperti ini mudah kita lihat di seputaran Jakarta bahkan di hadapan gedung apartemen mewahatau tak terlalu jauh dari Istana Negara. Kemiskinan seolah menjadi hal yang begitu biasa dan wajar diterima sebagai keniscayaan dalam masyarakat. Bahkan kemiskinan sering kali disebut sebagai hasil kemalasan atau ketidak mampuan perorangan atau kelompok masyarakat.Â
Kemiskinan jarang atau bahkan tidak pernah dilihat sebagai akibat dari sistim bermasyarakat atau bernegara yang tidak sehat.
Nah kalau kita mulai mengaitkan kondisi masyarakat miskin adalah akibat dari sistim bermasyarakat atau bernegara yang tidak sehat, maka lukisan seperti karya Deon dapat memicu pemikiran atau perdebatan yang lebih luas dan dalam. Terlebih ditahun politik seperti saat ini.
Namun demikian tulisan ini tidak ingin ditarik kesana. Saya lebih ingin melihat lukisan ini sebagai titik awal untuk membicarakan kesetaraan manusia untuk mencapai kebahagiaan.
Keluarga bawah air yang Deon gambarkan telah dengan baik menggambarkan sebuah keluarga sederhana yang hidup di bawah garis kemiskinan. Namun ternyata keluarga miskin ini tetap bersatu. Ayah atau ibu mereka tetap bersatu menjaga anak anaknya. Memberi nasehat, bercengkerama, atau mungkin tertawa bersama. Walau wajah meraka tak cantik, dengan gigi berantakan. Namun anak anak mereka menunggu dan mendengarkan dengan khidmat semua kata kata yang diucapkan. Kebahagiaan ternyata dapat tumbuh ditengah kemiskinan dan di posisi paling rendah dalam masyrakat.
Kehidupan keluarga miskin ini secara alamiah memang harus diurus sendiri oleh orang tua mereka, bukan pembantunya. Mereka juga dengan mudah beraktifitas bersama, barangkali orang tuanya tidak harus mengurus bisnis yang justru sering memisahkan dirinya dan keluarga. Kemiskinan dalam pengertian kurangnya materi, adalah sebuah keadaan.Â
Sebuah keadaan sesungguhnya hanyalah seperti sebuah ladang yang mampu menumbuhkan apa saja yang ditanam diatasnya. Demikian juga keadaan kurangnya materi dalam sebuah keluarga. Jika disikapi dengan karakter yang baik, maka keadaan ini tidak menyulitkan bahkan mampu menjadi pemicu kebaikan dan mampu menjadi alat untuk melihat sebaik apa manusia yang mengalaminya.Â
Ketika kemiskinan menumbuhkan kebersamaan untuk saling melindungi atau saling menolong dalam berkeluarga, maka kemiskinan itu telah berhasil menjadi alat untuk menunjukan kemuliaan.
Keluarga bawah air lukisan Deon ini berhasil menggambarkan mereka yang miskin namun tetap menjadi orang baik dan bahagia, mereka tetap hidup bersama menumbuhkan dan merawat cinta dengan tulus. Berkeluarga dengan benar dan lainnya. Cinta dalam keluarga mereka tidak didasari kebutuhan materi atau kepura puraan. Dalam keadaan seperti inilah sesungguhnya kemuliaan manusia itu terlihat sangat mengagumkan.
Jadi sesungguhnya kebahagiaan dan kemuliaan itu adalah hak dan milik semua orang, baik miskin maupun kaya. Namun tentu harus diusahakan dengan cara yang berbeda. Semua yang ada telah diciptakan oleh Penciptanya dan baik adanya. Manusia tinggal menjalani apa yang Penciptanya ajarkan dan perintahkan maka kebahagiaan pasti menjadi miliknya.
Tulisan ini tentu tidak dimaksudkan untuk mendorong masyarakat untuk membiarkan kemiskinan. Kemiskinan dalam masyarakat tentu harus terus diusahakan untuk diminimalkan, dan itu tugas semua orang walau utamanya tetaplah pemerintah atau penguasa. Karena sesungguhnya tugas utama pemerintahan adalah melindungi dan menjaga mereka yang lemah, agar tidak tertindas, bukan sebaliknya lebih mengutamakan yang kuat dan kaya.
Karya Deon "Underwarter Family" tentu dapat dilihat sebagai tanda yang bermakna ganda. Sebagai tanda untuk menyadarkan mereka yang sedang atau mau berkuasa, akan tugas utamanya melindungi dan menjaga masyarakat yang lemah.Â
Namun sekaligus juga sebagai tanda yang dapat menyadarkan bahwa untuk menjadi bahagia sesungguhnya adalah harus tetap bersyukur dan membuat kebaikan, baik untuk dirinya sendiri, keluarga maupun masyarakat. Kebahagiaan itu hak semua orang.
Yulianto Liestiono
analis seni rupa, tinggal di Depok, 01 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H