Ketika ingin menulis wisata kuliner Korea, saya teringat pertanyaan teman saya dari Kanada mengenai tren Budaya Pop (Pop Culture) beberapa tahun yang lalu. Saat itu saya berkata, tren Budaya Pop kini bergeser ke Asia, seperti Jepang dan Korea Selatan. Generasi muda saat ini jenuh dengan budaya barat dan melirik ke Asia, maka muncul istilah J-Pop dan K-Pop.Â
Budaya pop, seperti budaya lainnya, adalah bentukan atau kreasi manusia yang tentu saja sedang popular saat ini. Kebudayaan ini tidak hanya berkisar di area seni, music, maupun fashion, namun juga kuliner. Setelah drama, music dan kini kuliner khas Korea menjadi sesuatu yang tren dan disukai masyarakat dunia, salah satunya di Indonesia. Bahkan, Kimchi diakui sebagai salah satu makanan sehat.
Saya yang berdomilisi di Depok, Jawa Barat, cukup takjub melihat beberapa restoran Korea hadir di sepanjang jalan Margonda ataupun mal-mal di Depok. Takjub pula melihat pengunjungnya banyak, bahkan sampai antri. Tidak hanya itu, kini beberapa supermarket juga menjual cemilan maupun bumbu-bumbu khas Korea. Di Jakarta juga banyak bertebaran restoran-restoran Korea, seperti di kawasan Blok M, Kemang, Kuningan, Sudirman dan lain sebagainya.
Budaya adalah cerminan bangsa tersebut. Demikian halnya dengan budaya kuliner. Kuliner suatu bangsa merepresentasikan filosofi hidup dan karakter bangsa tersebut. Misalnya, Budaya Indonesia yang kaya ragamnya, ternyata juga kaya akan cita rasa kulinernya yang mencirikan daerah asal kuliner tersebut. Demikian pula dengan Korea, seperti dikutip dalam Korean Cuisine: Refresh Your Sense, terbitan Korea Tourism Organization, bahwa dibalik kuliner Korea terdapat nilai-nilai filosofi, ilmiah dan medis yang melatar belakanginya.Â
Dalam Facts about Korea terbitan Ministry of Culture, Sports and Tourism,Bendera Korea yang disebut Taegeukgi, melambangkan filosofi Yin dan Yang. Lingkaran tengah pada bagian atas berwarna merah melambangkan Yang atau unsur kosmik yang bersifat proaktif, sedangkan bagian bawah berwarna biru melambangkan Yin yang bersifat responsive. Lingkaran ini diapit empat unsur alam semesta yakni langit, bumi, api dan air.Â
Filosofi Yin dan Yang, serta empat unsur alam semesta ini saling terkait. Penjelasannya adalah semua hal ihwal di alam tumbuh dan berkembang berdasarkan hubungan saling menguntungkan satu sama lain. Demikian pula dengan kuliner Korea, dimana filosofi Yin dan Yang (keseimbangan) diterapkan dalam makanan.
Bagi orang Korea, energi tidak hanya berupa kekuatan fisik tetapi juga kekuatan jiwa dan pikiran (mind and soul). Filosofi kuliner Korea menyebutkan bahwa, "masakan dan ilmu kedokteran tumbuh dari akar budaya yang sama". Oleh sebab itu, ada pepatah Korea mengatakan "tak ada ilmu kedokteran yang lebih baik daripada masakan". Bangsa Korea adalah bangsa pekerja keras, maka mereka akan berusaha menjaga kesehatan melalui makanan untuk dapat bekerja dan menghasilkan uang untuk hidup sejahtera.
Dalam kuliner Korea, selain filosofi Yin dan Yang dan empat unsur alam semesta, terdapat pula lima warna utama, yakni merah, biru, kuning, putih dan hitam, yang sejalan dengan keempat unsur alam semesta. Bahan makanan dengan kelima warna utama tersebut dicampur untuk menghasilkan makanan yang memungkinkan tubuh menyerap nutrisi secara efektif dan efisien. Juga membangkitkan selera melalui lima cita rasa dasar, yaitu asin, panas, manis, pahit dan asam.Â
Kuliner Korea sungguh kaya warna dan kaya rasa, selain itu juga sarat dengan nilai-nilai budaya dan kesehatan. Wisata kuliner saya kali ini benar-benar istimewa, karena melalui makanan saya dapat mengenal budaya dan juga prinsip-prinsip hidup orang Korea.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H