Mohon tunggu...
Yulianita Abu Bakar
Yulianita Abu Bakar Mohon Tunggu... Guru - Guru

There are things more important than happiness (Imam Syamil's son)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hadiah Yang Tak Pernah Diberi

23 Desember 2024   01:30 Diperbarui: 23 Desember 2024   01:30 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rumah yang selalu tertata rapi seperti majalah interior, hiduplah seorang anak perempuan bernama Raina bersama ibunya, Bu Laras. Dari luar, rumah itu tampak sempurna -- cat dinding yang bersih, tanaman hias yang subur, dan senyum lebar yang selalu ditunjukkan Bu Laras kepada para tetangga. Namun di dalamnya, suasana selalu terasa dingin, seperti ada sesuatu yang tak pernah terucap.

Raina, gadis berusia 14 tahun, tumbuh dengan se-gudang aturan yang ibunya buat. "Raina, jangan lupa pakai pita itu kalau pergi ke sekolah. Kamu kan harus terlihat rapi. Jangan buat Ibu malu," ujar Bu Laras suatu pagi.

"Iya, Bu," jawab Raina sambil memasang pita merah yang tak pernah ia sukai.

Segalanya tentang hidup Raina adalah tentang citra. Nilai rapor nya harus sempurna, sikapnya harus sopan, dan penampilannya harus menarik. Jika ada sesuatu yang tidak sesuai standar, Bu Laras tak segan melontarkan kritik tajam.

"Kenapa tulisanmu di sini miring-miring begitu? Kamu mau orang pikir anak Ibu malas belajar?" kata Bu Laras sambil menunjuk buku catatan Raina.

Hari itu, Raina menerima kabar baik dari sekolah. Ia memenangkan lomba melukis tingkat kota, sebuah prestasi yang ia capai dengan penuh perjuangan. Pulang dengan membawa piala kecil, ia berharap ibunya akan merasa bangga.

"Bu, lihat! Aku menang lomba melukis!" kata Raina dengan mata berbinar, menyerahkan piala itu kepada ibunya.

Namun, alih-alih tersenyum atau memuji, Bu Laras mengamati piala itu dengan wajah datar. "Kenapa hanya juara tiga? Kamu bisa lebih baik dari ini kalau kamu berusaha lebih keras."

Raina tertegun. Kebahagiaan nya seketika runtuh. Ia mengangguk pelan, menggenggam piala itu kembali, dan membawanya ke kamarnya. Malam itu, ia menatap piala itu lama, bertanya-tanya apa yang salah dengan usahanya.

Seminggu berlalu, hari ulang tahun Raina pun tiba, tapi seperti biasa, tidak ada perayaan besar. Bu Laras tidak suka pesta karena menurutnya, itu hanya buang-buang waktu dan uang. Ketika Raina meniup lilin di kue kecil yang ibunya beli, ia berharap sesuatu di dalam hatinya: kali ini, semoga Ibu memberi ku pelukan.

Namun, setelah lilin padam, Bu Laras hanya berkata, "Jangan lupa cuci piring setelah ini, ya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun