Mohon tunggu...
Veronica Yuliani
Veronica Yuliani Mohon Tunggu... Guru - Guru bahasa yang jatuh cinta dengan cello, panflute, dan violin.

Menulis untuk berbagi dan menginspirasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

14 Tahun Menjadi Guru dan Masih Terus Belajar

10 Januari 2023   13:59 Diperbarui: 10 Januari 2023   14:06 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menjadi guru bukanlah impian saya sejak kecil. Dulu, jika ditanya ingin kuliah ambil jurusan apa, maka saya akan menjawab arsitek atau desain interior. Dalam bayangan saya kedua profesi itu begitu keren di zaman itu.

Namun, ternyata kini saya menjadi seorang guru dan sudah 14 tahun lamanya.

Perjalanan Menjadi Guru

Walaupun bukan dari keluarga berada, saya mempunyai keinginan melanjutkan ke perguruan tinggi selepas SMA. Tahun 2003, saya sempat mendaftar kuliah dan diterima di Univesitas Sahid Jakarta, jurusan pariwsata dan perhotelan. Waktu itu saya mendaftar sudah gelombang ke 5.

Namun, setelah melalui berbagai pertimbangan, saya tidak jadi melanjutkan kuliah di Universitas Sahid. Pertama pertimbangan biaya. Walaupun kakak saya memiliki agen koran yang cukup berkembang tetapi kakak saya pun ragu apakah bisa mencukupi biaya kuliah saya. Kedua, lokasi kampus jurusan pariwisata dan perhotelan ternyata tidak di Fatmawati tetapi di Pondok Cabe, Tangerang. Jauh dari tempat tinggal kami, Kranggan Bekasi.

Kakak saya tidak mengizinkan saya untuk kos karena tidak ada yang memantau. Apalagi saya adalah anak perempuan. Selain itu, saya juga baru datang dari desa.

Akhirnya, karena tidak jadi kuliah saya menganggur satu tahun. Satu tahun berikutnya saya bekerja sebagai SPG sepatu anak kecil "Bee Bug" dan "Power Puff Girl" di sebuah mall di Kelapa Gading.

Tahun 2005, kakak saya menang kuis "Who Wants to be a Millionare" sebanyak lima ratus juta. Saya diminta untuk melanjutkan kuliah. Saya sangat bahagia.

Keluarga menyarankan mengambil jurusan pendidikan. Mereka mengatakan jika mengambil jurusan pendidikan ada banyak keuntungan. Pertama, jika ambil jurusan Pendidikan bisa kerja di sekolah atau pun di perusahaan. Kedua, guru-guru PNS (waktu itu) banyak yang akan segera pensiun, jadi bisa mudah jadi PNS. Ketiga, jadi guru banyak liburnya, dan masih banyak lagi.

Saya setuju kuliah jurusan pendidikan, tetapi saya bingung mau ambil mapel apa. Dulu, waktu SMA saya ambil jurusan IPA, tetapi saya tidak suka hitungan. Oleh karena itu, saya berpikir saya tidak mau ambil jurusan yang membuat pusing.

Saya berpikir mau kuliah yang gampang saja. Saya putuskan mengambil jurusan bahasa Indonesia sebagai pilihan pertama, bahasa Inggris pilihan ke dua, dan pendidikan agama Katolik sebagai pilihan ke tiga. Akhirnya,saya diterima sesuai pilihan pertama saya, bahasa Indonesia.

Suka Duka Menjadi Guru 

Tahun 2009 saya lulus kuliah dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Sebelum wisuda saya mendapat panggilan kerja di sebuah sekolah swasta di Kelapa Gading Jakarta.

Namun, saya tidak bertahan lama di SMA tersebut. Biaya hidup di kota sentra bisnis sangat besar sedangkan gaji saya di sekolah yang terbilang baru itu tidak seberapa, sehingga akhirnya tahun 2010 saya memutuskan keluar dan pindah ke Semarang.

Tahun-tahun awal mengajar di sekolah ini sangatlah berat dan tak terlupakan bagi saya. Saya ingat betul saat-saat mengajar di kelas XII IPS yang penuh tantangan. Ketika saya mengajar satu kelas tak ada yang memperhatikan, semua siswa asik dengan laptop masing-masing.

Rasanya seperti ingin menangis saat itu. Saya seperti orang gila berbicara sendiri di depan kelas. Anak-anak hanya patuh dengan beberapa guru senior. Guru baru yang masih berseragam hitam putih seringkali mereka pandang sebelah mata.

Pernah suatu ketika oleh angkatan ini pun saya dikabarkan tentang hal yang kurang baik. Hal yang tidak pernah saya lakukan. Entah dari mana cerita itu berasal. Sampai-sampai ketika membuat tugas drama pun mereka menyindir saya.

Cerita lain lagi, angkatan di bawahnya, saya harus bertemu dengan orang tua yang anaknya tidak terima karena mendapat nilai di bawah 70. Beruntung orang tua tersebut dapat menerima dengan baik setelah saya jelaskan alasannya. Sebagai guru baru hal seperti ini adalah pengalaman yang menegangkan.

Namun, siapa sangka justru di sekolah inilah saya bertahan hingga saat ini. Kini, saya semakin nyaman mengajar di sekolah ini.

Refleksi Sebagai Seorang Guru

Sebagai seorang guru, yang sudah mengajar selama 14 tahun saya merasa masih banyak kekurangan. Saya bukanlah guru populer atau pun guru favorit di mata murid-murid saya. Bahkan terkadang, dengan jujur mereka bertanya untuk apa belajar bahasa Indonesia.

Idealisme saya sebagai guru bahasa Indonesia untuk menghasilkan karya (buku) bersama murid-murid saya pun hingga hari ini belum bisa terwujud. Mungkin suatu saat nanti.

Sebagai guru bahasa Indonesia saya terus berusaha mencari cara agar murid-murid tertarik belajar bahasa Indonesia. Saya terus berpikir bagaimana menginspirasi mereka. Salah satunya cara yang saya lakukan adalah dengan menulis di kompasiana ini.

Menjadi guru adalah hidup saya, menjadi guru adalah panggilan saya. Saya akan terus berdoa, berusaha menjadi guru yang melayani dengan hati dan menginspirasi bagi murid-murid saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun