Suka Duka Menjadi GuruÂ
Tahun 2009 saya lulus kuliah dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Sebelum wisuda saya mendapat panggilan kerja di sebuah sekolah swasta di Kelapa Gading Jakarta.
Namun, saya tidak bertahan lama di SMA tersebut. Biaya hidup di kota sentra bisnis sangat besar sedangkan gaji saya di sekolah yang terbilang baru itu tidak seberapa, sehingga akhirnya tahun 2010 saya memutuskan keluar dan pindah ke Semarang.
Tahun-tahun awal mengajar di sekolah ini sangatlah berat dan tak terlupakan bagi saya. Saya ingat betul saat-saat mengajar di kelas XII IPS yang penuh tantangan. Ketika saya mengajar satu kelas tak ada yang memperhatikan, semua siswa asik dengan laptop masing-masing.
Rasanya seperti ingin menangis saat itu. Saya seperti orang gila berbicara sendiri di depan kelas. Anak-anak hanya patuh dengan beberapa guru senior. Guru baru yang masih berseragam hitam putih seringkali mereka pandang sebelah mata.
Pernah suatu ketika oleh angkatan ini pun saya dikabarkan tentang hal yang kurang baik. Hal yang tidak pernah saya lakukan. Entah dari mana cerita itu berasal. Sampai-sampai ketika membuat tugas drama pun mereka menyindir saya.
Cerita lain lagi, angkatan di bawahnya, saya harus bertemu dengan orang tua yang anaknya tidak terima karena mendapat nilai di bawah 70. Beruntung orang tua tersebut dapat menerima dengan baik setelah saya jelaskan alasannya. Sebagai guru baru hal seperti ini adalah pengalaman yang menegangkan.
Namun, siapa sangka justru di sekolah inilah saya bertahan hingga saat ini. Kini, saya semakin nyaman mengajar di sekolah ini.
Refleksi Sebagai Seorang Guru
Sebagai seorang guru, yang sudah mengajar selama 14 tahun saya merasa masih banyak kekurangan. Saya bukanlah guru populer atau pun guru favorit di mata murid-murid saya. Bahkan terkadang, dengan jujur mereka bertanya untuk apa belajar bahasa Indonesia.
Idealisme saya sebagai guru bahasa Indonesia untuk menghasilkan karya (buku) bersama murid-murid saya pun hingga hari ini belum bisa terwujud. Mungkin suatu saat nanti.